Islam sejak awal kemunculannya telah memperlihatkan pentingnya
pendidikan bagi kehidupan manusia. Ayat pertama yang diterima Nabi
Muhammad adalah Iqra’ yang mengandung pesan tentang perintah
memberdayakan potensi akal yang dimiliki manusia, dan itu merupakan inti
pendidikan dalam Islam. Namun, perlu diakui bahwa pendidikan Islam
ketika itu belum mempunyai bentuk yang formal dan sistematis, karena
peranan pendidikan pada awal perkembangan Islam masih sebatas
upaya-upaya penyebaran dakwah Islam berupa penanaman ketauhidan dan
praktek-praktek ritual keagamaan.
Keadaan di atas berlangsung sejak Nabi Muhammad masih hidup hingga
sampai pada suatu zaman dimana pemikiran umat Islam mulai bersentuhan
dengan peradaban dan kebudayaan dari luar Islam (Arab).[1]
Masuknya filsafat Yunani merupakan faktor yang sangat dominan bagi
perkembangan pemikiran dalam Islam, termasuk dalam bidang pendidikan.
Pendidikan zaman dulu seharusnya menjadi cerminan untuk pendidikan
masa yang akan datang. Yang baik dari zaman dulu dan sisi buruknya
ditinggalkan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan solusi menghadapi
globalisasi dan perkembangan zaman yang jauh berbeda dengan zaman
dahulu. Filsafat pendidikan dan pemikiran pendidikan Islam, dalam hal
ini harus turut memberi respon bagi semua perubahan dan perkembangan
itu. Karena filsafat dan pemikiran Islam itu selalu merupakan akibat
dari dua hal—yaitu ideologi Islam seperti digambarkan dalam al-Qur’an
dan al-Hadis serta suasana baru yang muncul dalam dunia Islam
(pendidikan) itu sendiri—sehingga perlu dibentuk konsep pendidikan Islam
yang ideal yang dapat menyesuaikan terhadap perkembangan zaman dengan
tanpa melupakan nilai-nilai keagamaan Islam dalam dunia pendidikan.
B. Konsep Ideal Pendidikan yang Islami
Sebelum membahas tentang pendidikan Islam, terlebih dahulu membahas
apa itu pendidikan? Menurut M.J. Langeveld; “Pendidikan merupakan upaya
manusia dewasa membimbing yang belum kepada kedewasaan.” Ahmad
D.Marimba, merumuskan pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara
sadar oleh sipendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani
siterdidik menuju terbentuknya keperibadian yang utama.[2]
Demikian dua pengertian pendidikan dari sekian banyak pengertian yang
diketahui. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun
1989, “pendidikan dirumuskan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan
peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan
bagi perannya di masa yang akang datang”. Sedangkan, “pendidikan dalam
pengertian yang luas adalah meliputi perbuatan atau semua usaha generasi
tua untuk mengalihkan (melimpahkan) pengetahuannya, pengalamannya,
kecakapan serta keterampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha
untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik
jasmaniah maupun rohaniah.[3]
Pendidikan Islam ideal adalah membentuk manusia yang bertaqwa kepada
Allah SWT, mampu menggunakan logikanya secara baik, berinteraksi
sosial dengan baik dan bertanggung jawab. Dengan kata lain, pendidikan
Islam ideal adalah membina potensi spiritual, emosional dan
intelegensia secara optimal. Ketiganya terintegrasi dalam satu
lingkaran.
Aktifitas pendidikan Islam pada dasarnya merupakan upaya dalam
mewujudkan spirit Islam, yaitu suatu upaya dalam merealisasikan semangat
hidup yang dijiwai oleh nilai Islami. Selanjutnya spirit tersebut
digunakan sebagai pedoman hidup. Spirit Islam ini berakar dalam
teks-teks suci Al-Qur’an yang disampaikan Allah kepada Muhammad SAW.
Sebagai Kitab Suci agama Islam, Al-Qur’an mengintroduksikan dirinya
sebagai ‘pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus’ (QS. 17: 19),
petunjuk-petunjuknya bertujuan memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan
bagi manusia baik secara pribadi maupun kelompok, dan karena itu
ditemukan petunjuk-petunjuk bagi manusia dalam kedua bentuk tersebut.
Rosul sebagai penerima Al-Qur’an bertugas untuk menyampaikan
petunjuk-petunjuk tersebut, menyucikan dan mengajarkannya kepada manusia
(QS 67: 3). Menyucikan dapat diidentikan dengan mendidik (menjadikan
seseorang bersih/suci), sedangkan mengajar tidak lain kecuali mengisi
jiwa anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam fisik dan
metafisik.
Tujuan yang ingin dicapai dengan pembacaan, penyucian dan pengajaran
tersebut adalah pengabdian kepada Allah SWT sejalan dengan tujuan
penciptaan manusia sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Qur’an dalam
Surat Al-Dzariat 56 ‘aku tidak menciptakan manusia dan Jin kecuali
untuk menjadikan tujuan akhir atau hasil segala aktifitasnya sebagai
pengabdian kepada-Ku’. Aktifitas yang dimaksudkan disini tersimpul dalam kandungan ayat 30 Surat Al-Baqarah ‘sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’ dan Surat Hud 61 ‘ dan Dia (Allah) menciptakan kamu (manusia) dari bumi (tanah) dan menugaskan kamu memakmurkan’.
Maksud dari ayat ini, manusia yang dipercaya oleh Allah sebagai
khalifah itu bertugas memakmurkan atau membangun bumi ini sesuai dengan
konsep yang ditetapkan oleh yang menugaskan (Allah).
Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan dalam
Al-Qur’an adalah membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga
mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya guna
membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan oleh Allah.
Dari uraian tersebut juga dapat dirumuskan konsep pendidikan Islam
sebagai berikut :
- Pendidikan dalam konsepsi ajaran Islam merupakan manifestasi dari tugas kekhalifahan ummat manusia di muka bumi. Manifestasi ini akan bermakna fungsional jika seluruh fenomena kehidupan yang muncul dapat di beri batasan-batasan nilai moralitasnya, sehingga tugas kekhalifahan itu tidak justru berada di luar lingkar nilai-nilai itu. Dan konsekuensinya, mengisyaratkan kepada manusia agar dalam proses pendidikannya selalu cenderung pada ajaran-ajaran pokok dari sang Pendidik yang paling utama dan pertama, yaitu Allah sebagai rabb al-‘alamiin dan sekaligus sebagai rab an-naas.
- Pendidikan Islam memahami alam dan manusia sebagai totalitas ciptaan Allah, sebagai satu kesatuan, di mana manusia yang diberi otoritas relatif untuk mendayagunakan alam, tidak bisa terlepas dari sifat ar-rahman dan ar-rahim Allah yang termasuk sifat ke-rubbubiyyahan-Nya. Oleh karena itu pendidikan sebagai bagian pokok dari aktifitas pembinaan hidup manusia harus mampu mengembangkan rasa kepatuhan dan rasa syukur yang mendalam kepada Khaliq-nya. Sehingga beban tanggungjawab manusia tidak ditujukan kepada selain Allah. Inilah sebenarnya makna tauhid yang mendasari segala aspek pendidikan Islam.
- Atas dasar ketauhidan tersebut, pendidikan Islam haruslah mendasarkan orientasinya pada penyucian jiwa, sehingga setiap diri manusia mampu meningkatkan dirinya dari tingkatan iman ke tingkatan ikhsan yang mendasari seluruh kerja kemanusiaannya (amal sholeh).
Dari orientasi pendidikan Islam ini, maka asas pendidikan Islam tidak
lain adalah berupaya mengefektifkan aplikasi-aplikasi nilai-nilai agama
yang dapat menimbulkan transformasi nilai dan pengetahuan secara utuh
kepada manusia, masyarakat, dan dunia pada umunya.[4]
Al-Syaibany menyatakan bahwa pendidikan Islam harus mengandung unsur-unsur dan syarat-syarat sebagai berikut :
- Dalam segala prinsip, kepercayaan dan kandungannya sesuai dengan ruh (spirit) Islam;
- Berkaitan dengan realitas masyarakat dan kebudayaan serta sistem sosial, ekonomi, dan politiknya;
- Bersifat terbuka terhadap segala pengalaman yang baik (hikmah);
- Pembinaannya berdasarkan pengkajian yang mendalam dengan memperhatikan aspek-aspek yang melingkungi;
- Bersifat universal dengan standar keilmuan;
- Selektif, dipilih yang penting dan sesuai dengan ruh agama Islam;
- Bebas dari pertentangan dan persanggahan antara prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasarnya; dan
- Proses percobaan yang sungguh-sungguh terhadap pemikiran pendidikan yang sehat, mendalam dan jelas.
Selain itu, menurut Malik Fajar, pendidikan Islam harus memenuhi 4 tuntutan sebagai berikut :
- Kejelasan cita-cita dengan langkah-langkah operasional di dalam mewujudkan cita-cita pendidikan Islam.
- Memberdayakan kelembagaan dengan menata kembali sistemnya.
- Meningkatkan dan memperbaiki manajemen.
- Meningkatkan mutu sumber daya manusia (SDM).
C. Komponen Penunjang Pendidikan Islam
Penyelesaian problem pendidikan sangat berkaitan dengan masalah
bidang lainnya, seperti ekonomi, hukum, sosial dan politik. Tidak bisa
menyelesaikan masalah pendidikan hanya dari satu sudut bidang pendidikan
semata, karena hasil pendidikan siswa disekolah sangat dipengaruhi juga
oleh lingkungan dan keluarganya, maka solusinya harus bersifat
revolusioner yaitu merubah secara total paradigma berpikir dan bersikap
dari pola pikir dan pola sikap dari kapitalis menjadi pola berpikir
islam.
Di masyarakat kita saat ini berkembang persepsi kapitalis, semisal
sekolah bertujuan dapat kerja, sekolah biar jadi orang kaya, sekolah
sekedar mengisi waktu luang atau dari pada menganggur. Pelajaran ekonomi
misalnya, mengajarkan: demi keuntungan sebesar-besarnya, dengan
pengorbanan sekecil-kecilnya.
Kerusakan yang lama ada pada pola pendidikan di negara Barat
sepatutnya ditinggalkan oleh kaum muslimin. Kerusakan tersebut timbul
dikarenakan tidak adanya muatan ruhiyah dalam penelitian dan
pengembangan sains dan teknologinya. Sehingga dampak yang bisa
dirasakan, pola pendidikan tersebut menghasilkan output berpikir dan
bersikap berdasarkan pada prinsip materialisme dengan menanggalkan
prinsip syari’at Islam.[5] Dari sinilah problem sosial kemasyarakatan muncul dan kerusakan tatanan kehidupan.
Membangun kepribadian islami yang terdiri dari pola pikir dan pola jiwa bagi umat yaitu dengan cara menanamkan tsaqofah
Islam berupa aqidah, pemikiran, dan perilaku islami ke dalam akal dan
jiwa anak didik. Mempersiapkan generasi Islam untuk menjadi orang ‘alim
dan faqih di setiap aspek kehidupan, baik ilmu diniyah
(Ijtihad, Fiqh, Peradilan, dll) maupun ilmu terapan dari sains dan
teknologi (kimia, fisika, kedokteran, dll). Sehingga output yang
didapatkan mampu menjawab setiap perubahan dan tantangan zaman dengan
berbekal ilmu yang berimbang baik diniyah maupun madiyah-nya.[6]
Kemudian tujuan dari pola pendidikan Islam bisa terlaksana jika
ditopang dengan pilar yang akan menjaga keberlangsungan dari pendidikan
Islam tersebut. Pilar penopang pendidikan Islam yang dibutuhkan untuk
bekerja sinergis terdiri dari :
1. Keluarga
Dalam pandangan Islam, keluarga merupakan gerbang utama dan pertama
yang membukakan pengetahuan atas segala sesuatu yang dipahami oleh
anak-anak. Keluarga-lah yang memiliki andil besar dalam menanamkan
prinsip-prinsip keimanan yang kokoh sebagai dasar bagi si anak untuk
menjalani aktivitas hidupnya. Berikutnya, mengantarkan dan mendampingi
anak meraih dan mengamalkan ilmu setingggi-tingginya dalam koridor
taqwa. Jadi keluarga harus menyadari memiliki beban tanggung jawab yang
pertama untuk membentuk pola akal dan jiwa yang Islami bagi anak.
Singkatnya, keluarga sebagai cermin keteladanan bagi generasi baru.
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda :
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلىَ اْلفِطْرَةِ فَأبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أوْ يُنَصِّرَانِهِ أوْ يُمَجِّسَانِهِ - رواه البجاري
“Setiap anak dilahirkan atas fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang
menjadikan anak itu beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR.
Bukhari)
2. Masyarakat
Pendidikan generasi merupakan aktivitas yang berkelanjutan tanpa
akhir dan sepanjang hayat manusia. Oleh karena itu, pola pendidikan
Islam tidak berhenti dan terbatas pada pendidikan formal (sekolah),
namun justru pendidikan generasi Islami yang bersifat non formal di
tengah masyarakat harus beratmosfer Islam pula. Kajian tsaqofah islam
serta ilmu pengetahuan dan sarana penunjangnya menuntut peran aktif dari
masyarakat pula. Ada beberapa peran yang bisa dimainkan masyarakat
sebagai pilar penopang pendidikan generasi islami yaitu sebagai controh
penyelenggaraan pendidikan oleh negara dan laboratorium permasalahan
kehidupan yang kompleks.
3. Madrasah/Sekolah/Lembaga Pendidikan
Tempat untuk mengkaji keilmuan lebih intensif dan sistematis terletak
pada Madrasah. Semasa Rasulullah SAW, masjid-masjid yang didirikan kaum
muslimin menjadi lembaga pendidikan formal bagi semua manusia.
Didalamnya tidak semata-mata membahas ilmu diniyah, namun juga ilmu
terapan. Rasulullah menjadikan masjid untuk menyampaikan ajaran-ajaran
Islam, tapi penyusunan strategi perang pun juga seringkali dilakukan
oleh Rasulullah SAW bersama para sahabat didalam masjid. Sedangkan
dimasa modern saat ini pendidikan bisa dialihkan yang semula masjid ke
tempat dengan fasilitas yang menunjang dalam proses pembelajaran lebih
efektif baik itu sekolah maupun perguruan tinggi. Hal ini sah-sah saja
dan tidak bisa dianggap sebagai upaya memisahkan anak didik dari masjid.
4. Negara
Negara sebagai pilar penopang bisa mewujudkan pola pendidikan Islami
akan lebih optimal, efektif dan sempurna jika didukung dengan semua
kebijakan yang dikeluarkan terhadap aspek kehidupan ini berlandaskan
syari’at Islam. Peran yang bisa diambil oleh Negara dalam mewujudkan
pola pendidikan Islami diantaranya :
- Seleksi dan kontrol ketat terhadap para tenaga pendidik. Penetapan kualifikasi berupa ketinggian syakhsiyah islamiyah dan kapabilitas mengajar. Jika sudah didapatkan tenaga pendidikan yang sesuai kualifikasi, negara harus menjamin kesejahteraan hidup para tenaga pendidik agar mereka bisa focus dalam penelitian dan pengembangan ilmu bagi anak didik dan tidak disibukkan aktivitas mencari penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
- Menyajikan konten pendidikan dengan prinsip al-Fikru li al-‘Amal (Link and Match/ilmu yang bisa diamalkan). Artinya jangan sampai isi materi pendidikan tidak membumi (tidak bisa diterapkan) sehingga tidak berpengaruh dan tidak memotivasi anak didin untuk mendalaminya.
- Tidak membatasi proses pendidikan dengan batasan usia dan lamanya belajar. Karena hakekat pendidikan adalah hak setiap manusia yang harus dipenuhi oleh Negara. Allah mengamanahkan penguasa negara untuk benar-benar memenuhi kebutuhan umat tanpa syarat termasuk pendidikan.
D. Peran Masyarakat Sebagai Pendukung Pendidikan Islam
Pendidikan Islam penuh dengan nilai insaniah dan ilahiyah. Agama
Islam adalah sumber akhlak, kedudukan akhlak sangatlah penting sebagai
pelengkap dalam menjalankan fungsi kemanusiaan di bumi. Pendidikan
merupakan proses pembinaan akhlak pada jiwa. Meletakkan nilai-nilai
moral pada anak didik harus diutamakan. Nilai-nilai ketuhanan harus
dikedepankan, pendidikan Islam haruslah memperhatikan pendidikan akhlak
atau nilai dalam setiap pelajaran dari tingkat dasar sampai tingkat
tertinggi dan mengutamakan fadhilah dan sendi moral yang sempurna.[7]
Dalam pendidikan Islam, keseimbangan hidup meliputi beberapa prinsip,
yakni Keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat, antara kebutuhan
jasmanai dan rohani, antara kepentingan individu dan sosial, serta keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan amal.
Hal diatas merupakan konsep pendidikan Islam yang ideal. Namun,
realitas problem pendidikan yang ada adalah problem sistemik pendidikan
artinya; permasalahan menyangkut keseluruhan komponen pendidikan, mulai
dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan sistem pendidikan nasional,
manajerial pemerintah, kompetensi guru/dosen, sarana-prasarana,
kurikulum, dukungan masyarakat, dan lain sebagainya. Oleh karena itu
penanganannya juga harus melibatkan berbagai pihak, dan sudah seharusnya
permasahan ini merupakan tanggung jawab bersama.
Dibalik otonomi dan kebebasan yang dimiliki, kepada guru diberikan
target yang harus dicapai sebagai standar keberhasilan. Sudah barang
tentu target tersebut adalah keberhasilan untuk semua peserta didik
tanpa membedakan latar belakang sosial ekonomi yang dimiliki, mencapai
prestasi pada tingkat tertentu. Target bisa dikembangkan pada berbagai
skop sekolah. Dengan adanya target sebagai standar, masyarakat bisa ikut
mengevaluasi seberapa jauh keberhasilan sekolah dalam mencapai tujuan.
Terbukanya kesempatan bagi masyarakat dan orangtua peserta didik
untuk mengevaluasi proses pendidikan, memungkinkan munculnya partisipasi
masyarakat sekitar dan khususnya orangtua peserta didik dalam
menyelenggarakan pendidikan. Misalnya, sekolah bisa mengundang orangtua
dan masyarakat sekitar untuk berpartisipasi dalam menentukan kebijakan
dan operasionalisasi kegiatan sekolah. Orangtua dan masyarakat sekitar
yang mampu bisa diajak untuk berpartisipasi dalam pembiayaan pendidikan.
Dengan demikian, pada level makro, secara nasional bisa dilaksanakan
realokasi anggaran pembangunan pendidikan. Anggaran pendidikan
pemerintah yang terbatas hanya diarahkan pada sekolah-sekolah yang
memiliki peserta didik dengan latar belakang yang kurang mampu.
Sedangkan bagi sekolah-sekolah yang peserta didiknya terdiri dari
orangtua berlatar belakang sosial ekonomi relatif kaya, diharapkan bisa self-supporting dalam pembiayaan sekolah.
Bahkan tidak hanya masyarakat sekitar, karena target dan standar yang
harus memiliki skop regional dan daerah, maka pemerintah daerah akan
secara langsung terlibat dalam menyukseskan pendidikan di wilayah
masing-masing. Diharapkan pemerintah setempat bisa mengeluarkan berbagai
kebijakan yang mendukung pencapaian target pendidikan tersebut.
Misalnya, pemerintah kelurahan menetapkan “jam belajar” bagi anak usia
tertentu. Pada jam-jam tersebut anak-anak tidak boleh bermain. Dengan
kata lain pelayanan kemasyarakatan perlu dikaitkan dengan proses
pendidikan.
Kepada setiap sekolah dan guru diberikan kebebasan apa yang harus
dilakukan dalam proses pembelajaran. Yang penting adalah pencapaian
target yang telah ditentukan, dengan kata lain proses pendidikan
bersifat product oriented, berlawanan process oriented, yang dilakukan
sekarang ini. Untuk mencapai target yang telah ditentukan kepada guru
perlu diberikan insentif dan sekaligus sanksi. Insentif diberikan kepada
guru yang berhasil melampaui target yang telah ditentukan. Sebaliknya,
sanksi diberikan kepada guru yang melakukan tindak kecurangan, misalnya
mengubah, menambah atau memalsu nilai hasil pembelajaran peserta didik.
E. Kesimpulan
Konsep filosofis pendidikan Islam adalah bersumber dari hablum min Allah (hubungan dengan Allah) dan hablum min al-nas
(hubungan dengan sesama manusia) dan hablum min al-alam (hubungan
dengan manusia dengan alam sekitas) yang selanjutnya berkembang ke
berbagai teori yang ada seperti sekarang ini. Inprirasi dasar yaitu
berasal dari al-Qur’an dan al-Hadis.
Lembaga pendidikan Islam harus ditata kembali sehingga program
pendidikannya berorientasi pada pencapaian dan penguasaan kompetensi
tertentu, oleh karena itu lembaga pendidikan Islam harus mempunyai
sifat; (a) Multiprogram dan multistrata dan berorientasi pada tujuan
perpektif dan kebutuhan deskriptif, (b) setiap program disusun dengan
menggunakan prinsip pemaduan kompetitif kognitif, afektif, dan “akhlak”
(c) Diversifikasi program ditata sesuai dengan kebutuhan yang nyata di
dalam masyrakat yang berorientasi pada penampilan perilaku anak didik
yang mempunyai rasa tanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M. Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum). Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Arifin, Syamsul. dkk. Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan, Yogyakarta: Si Press, 1996.
Barzinji, Jamal. Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Malang: Universitas Muhammadiyah, 1996.
Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: al-Ma’arif, 1974.
Nata, Abudin. Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.
Tim Penulis, Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPI Press, 2005.
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Endnote :
[1] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 99.
[2] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1974), Cet.III, h. 20.
[3] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet. II, h. 2.
[4] Syamsul Arifin, dkk. Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan, (Yogyakarta: Si Press, 1996), h. 166-167
[5] Tim Penulis, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2005), h. 53.
[6] M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) , (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 27.
[7] Jamal Barzinji, Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Malang: Universitas Muhammadiyah, 1996), h. 37-28.
Categories: