Sebagai agama yang bertujuan
mengantarkan hidup manusia kepada kesejahteraan dunia dan akhirat, lahir dan
bathin, Islam telah membentangkan dan merentangkan pola hidup yang ideal dan
praktis. Pola hidup Islami tersebut dengan jelas dalam Alqur’an dan terurai
dengan sempurna dalam sunnah Rasulullah SAW.[1]
Itulah sebabnya, penghargaan Islam
terhadap budaya kerja bukan hanya sekedar pajangan alegoris, penghias retorika,
pemanis bahan pidato, indah dalam pernyataan tetapi kosong dalam kenyataan. Islam membuka pintu kerja setiap
muslim agar ia dapat memilih amal yang sesuai dengan kemampuannya, pengalaman,
dan pilihannya. Islam tidak membatasi suatu pekerjaan secara khusus kepada
seseorang, kecuali demi pertimbangan kemaslahatan masyarakat. Islam tidak akan
menutup peluang kerja bagi seseorang, kecuali bila pekerjaan itu akan merusak
dirinya atau masyarakat secara fisik atau pun mental. Setiap pekerjaan yang
merusak diharamkan oleh Allah.[2]
Huizinga mengatakan bahwa manusia
adalah homo ludens, yaitu pribadi yang bebas menentukan sikap dan memilih obyek
dunia sebagai bahan kreatifitas dan permainan (ludens), maka muslim
mengatakan bahwa manusia adalah khalifatullah, wakil Allah yang bebas
menentukan pilihannya sesuai dengan kerangka Qur’ani dan sunnah, sehingga
dirinya tampil untuk mempermainkan dunia, dan bukan sebaliknya dimana dunia
mempermainkan dirinya karena setiap muslim sadar bahwa dirinya tidak mungkin
tenggelam dalam arus permainan dunia (al-dunya la’ibun wa lahwun).[3]
Sedangkan kesadaran bekerja
akan melahirkan suatu perbaikan (improvement) untuk meraih nilai yang
lebih bermakna, dia mampu menuangkan idenya dalam bentuk perencanaan, tindakan,
serta melakukan penilaian dan analisa tentang sebab dan akibat dari aktivitas
yang dilakukan (managerial aspect).
Dengan cara pandang seperti ini,
sadarlah bahwa setiap muslim tidaklah akan bekerja hanya sekedar untuk
bekerja; asal mendapat gaji, dapat surat pengangkatan atau sekedar menjaga
gengsi supaya tidak disebut sebagai penganggur. Karena, kesadaran bekerja
secara produktif serta dilandasi semangat tauhid dan tanggung jawab uluhiyah
merupakan salah satu ciri yang khas dari karakter atau kepribadian seorang
muslim.
Ajaran sunnah yang mangatakan “tangan
di atas lebih mulia dari pada tangan di bawah”, seakan-akan menghantui dirinya,
menggedor dan menggapai-gapai untuk selalu tampil sebagai subyek yang terbaik.
Dia tidak akan merasa nista apabila dalam hidupnya tak mampu memberikan makna
pada lingkungannya, bahkandia merasa tak berharga apabila harus hidup sebagai
benalu yang hidupnya statis apalagi harus menjadi peminta-minta. Terkenanglah
dia akan ucapan Nabiyullah Muhammad SAW yang bersabda :
وعن ابى هر يرة رضىالله عنه قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم لان يحتطب احدكم حزمة على ظهره خيرله من ان يسال احدا
فيعطيه او يمنعه (متفق عليه)
Artinya: “Andainya seseorang mencari
kayu bakar dan dipikulkan diatas punggungnya, hal itu lebih baik dari pada kalau
ia meminta-minta pada seseorang yang kadang-kadang diberi, kadang pula ditolak”.(Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim).[4]
wujud kreasi suatu pikiran merupakan manifestasi dari rasa syukur |
Setiap muslim menyadari bahwa dirinya
hanya berharga apabila ia berkarya, mencipta dan mampu memberikan arti pada
lingkungannya. Maka terkenanglah dirinya akan nasehat sabda suci Rasulullah SAW
yang mengatakan :
المؤمن القوي خير واحب الى الله من
المؤمن الضعيف
Artinya: “Bahwa mukmin yang kuat itu
labih baik dan lebih dicintai Allah dari pada mukmin yang lemah”.
Salah satu kebahagiaannya yang
paling berbunga apabila dirinya mampu mengangkat yang lemah, memberi cahaya
bagi mereka yang kegelapan, menjadi tongkat bagi mereka yang buta, dan
kalau perlu tampillah dia sebagai pohon yang rindang ditengah padang tandus
untuk tempat penghentian dan berlindungnya para musafir yang kepanasan dan
ingin melepas rasa lelah dan dahaganya.
Bekerja adalah manifestasi kekuatan
iman. Karena dorongan firman Allah yang bersabda:
قل يقوم اعملوا على مكانتكم اني عامل
فسوف تعلمون (الزّمر: 39)
Artinya: “Katakanlah: Hai kaumku,
bekerjalah sesuai dengan keadaanmu masing-masing. Sesungguhnya akupun bekerja,
maka kelak kamu akan mengetahui”.(
Q.S. az-Zumar:39 ).[5]
Ayat diatas adalah perintah (amar)
dan karenanya mempunyai nilai hukum “wajib” untuk dilaksanakan. Siapapun mereka
yang secara pasif berdiam diri tidak mau berusaha untuk bekerja, maka dia telah
menghujat perintah Allah, dan sadar atau tidak, sesungguhnya orang tersebut
telah menggali kubur kenistaan bagi dirinya.
Pada kurun waktu kenabian dan awal
kebangkitan Islam sangat jelas terlihat bahwa penghargaan atas makna bekerja
telah diterima oleh para pengikut Rasul dengan sikap sami’na wa ato’na.
Hal ini terlihat dari sikap keteladanan Rasul yang merupakan suatu cacatan
sejarah paling monumental dalam hal kebanggaan bekerja dan semangat untuk
berprestasi atas dasar hasil keringatnya sendiri.
Rasulullah bersabda :
وعن المقدام بن معديكرب رضىالله عنه عن
النبى صل الله عليه وسلم قال:ماكل احد طعاما قط خيرا من ان ياكل من عمل يديه وان
نبيالله داود عليه
السلام ياكل من عمل يديه (رواه
البخارى)
Artinya: “Tiada seorang pun yang
makan makanan yang lebih baik dari pada makan yang diperoleh dari hasil dari
keringatnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah Daud AS itu pun makan dari hasil
karyanya sendiri”.(H.R. Bukhori)
Bekerja untuk mencari fadhilah
karunia Allah, menjebol kemiskinan, meningkatkan taraf hidup dan martabat serta
harga diri adalah merupakan nilai abadah yang esensial, karena Nabi bersabda: “Kemiskinan
itu sesungguhnya lebih mendekati kepada kekufuran”.
Bekerja adalah segala aktivitas
dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan
rohani), dan didalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh
kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian
dirinya kepada Allah SWT.
Dikatakan sebagai aktivitas dinamis,
mempunyai makna bahwa seluruh kegiatan yang dilakukan seorang muslim harus
penuh dengan tantangan (chollenging), tidak monoton, dan selalu berupaya
untuk mencari terobosan-terobosan baru (innovative) dan tidak pernah
merasa puas dalam berbuat kebaikan.
Ibarat meneguk air laut, kian
diteguk tarasa kian haus pula rasanya. Islam adalah agama yang bergerak dinamis
penuh energi, dan tidak pernah mengenal kamus “berhenti dalam berbuat kebaikan,
menggapai prestasi Ilahiyah”, karena tempat perhentian seperti itu, hanyalah
kelak di pekuburan sepi, dimana diri kita terasa kaku dan beku terbujur
sendirian.
Demikianlah bahwa sikap yang paling
agresif dalam etos kerja muslim adalah sikap mental yang selalu siap untuk
melontarkan sebuah jawaban: “Inilah pekerjaan dan hasil prestasiku, semoga apa
yang kuperbuat memberikan nilai sebagai rahmatan Lil ‘Alamiin, dan semoga Allah
mencatatnya sebagai amal saleh”. Penghargaan Islam atas hasil karya dan upaya
manusia untuk bekerja ditempatkan pada dimensi yang setara setelah iman, bahkan
bekerja dapat menjadikan jaminan diampuninya dosa-dosa manusia,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
من امسى كا لامن عمل يديه امسى مغفورا.(رواه الطبرانى و البيهقى)
Artinya: “Barang siapa yang di waktu
sorenya merasakan kelelahan karena bekerja, berkarya dengan tangannya sendiri,
maka diwaktu sore itu pulalah ia terampuni dosanya”.(Riwayat Tabrani dan Baihaqi).
Bertebaran ayat dan hadits yang
memuliakan orang-rang yang bekerja dan seharusnya menjadi dorongan bagi
pemeluknya untuk menghayati dan menjadikan etos kerja ini sebagai bagian dari
setiap tetesan darahnya, sehingga tampillah dia sebagai manusia muslim yang
menyandang gelar syuhada ‘alan naas.
Refrensi:
Categories: