Oleh: Dr. Irwan Prayitno, Psi, MSc.
Dunia pendidikan tidak mungkin lepas
dari politik dan kekuasaan. Bahkan, politik dan kekuasaan di suatu negara
memegang kunci keberhasilan pendidikan. Menurut Paulo Freire masalah pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah
sosio-politik, karena bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah
pembinaan dan pengembangan pendidikan. Maka dalam konteks demokratisasi dan
desentralisasi di Indonesia peran politik (eksekutif dan legislatif) begitu
besar. Sehingga, ranah politik dan kekuasaan mampu menjadi wahana bagi
espektasi publik akan sebuah sistem pendidikan yang mencerahkan.
Paulo Freire yang oleh banyak
kalangan sering disebut sebagai salah satu tokoh liberalisme pendidikan, telah
mengarang buku yang diberi judul The Politic of Education. Dalam buku ini,
meski tidak diuraikan di dalam chapter yang tersendiri, secara implisit
terdeskripsi betapa pentingnya politik pendidikan untuk menentukan kinerja
pendidikan suatu negara.
Dalam buku tersebut dilukiskan
persoalan menyangkut pemberantasan buta huruf, pemeranan guru, reformasi
agraria, pemeranan pekerja sosial, pemberantasan buta politik, humanisasi
pendidikan, peran gereja, dan sebagainya yang tidak terlepas dari politik
pendidikan.
Negara yang politik pendidikannya
buruk, kinerja pendidikannya pun juga buruk. Sebaliknya, negara yang politik
pendidikannya bagus, kinerja pendidikannya pun juga bagus. Pertanyaannya kini, bagaimanakah
politik pendidikan di negara kita? Inilah pertanyaan yang cukup menggelitik
untuk diklarifikasi. Kalau kita enggan menyatakan politik pendidikan kita
buruk, setidak-tidaknya kita dapat menyatakan bahwa politik pendidikan di
negara kita belum sepenuhnya positif. Indikasinya tak sulit; komitmen yang
rendah, besarnya anggaran yang tidak memadai, manajemen pendidikan yang lemah,
dan sebagainya.
Realitas Politik Pendidikan
Untuk melihat realitas politik
pendidikan di indonesia, kita bisa mengukurnya dari kebijakan dan praktik
pendidikan yang ada. Pemerintah telah menetapkan Renstra pendidikan tahun 2005 – 2009 dengan tiga sasaran
pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu meningkatnya perluasan
dan pemerataan pendidikan, meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan; dan
meningkatnya tata kepemerintahan (governance), akuntabilitas, dan pencitraan
publik.
Karena itu, kebijakan pendidikan
nasional harus mampu menghadirkan pemerataan pendidikan yang bermutu pada
setiap sisinya. Dalam konteks outcome, pendidikan nasional harus mampu
menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan intelektual dan akhlak mulia
secara seimbang.
Pembangunan pendidikan hendaknya
dapat membangun manusia Indonesia seutuhnya sebagai subyek yang bermutu.
Membangun manusia seutuhnya berarti mengembangkan seluruh potensi manusia
melalui keseimbangan olah hati, olah pikir, olah rasa, olah raga, dan olah jiwa
yang dilakukan seiring dengan pembangunan peradaban bangsa.
Pemerintah Indonesia memang telah terus-menerus memberikan perhatian yang besar pada pembangunan pendidikan dalam rangka mencapai tujuan negara, yaitu mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang pada akhirnya akan sangat mempengaruhi kesejahteraan umum dan pelaksanaan ketertiban dunia serta berkompetisi dalam percaturan global.
Namun dalam realitasnya, kita menyaksikan ternyata kebijakan dan praktik pendidikan kita masih jauh panggang dari api. Hal ini bisa kita lihat mulai dari kemampuan mengalokasikan anggaran pendidikan, pemerataan akses dan angka partisipasi pendidikan masyarakat, kualifikasi dan mutu profesionalisme serta kesejahteraan guru, dan daya saing lulusan pendidikan di dnia kerja, Soal anggaran pendidikan, misalnya. Kita semua tentu paham bahwa sampai sekarang ini besarnya anggaran pendidikan di negara kita tidak saja terjelek di Asia Tenggara, di Asia atau di kawasan terbatas lainnya; namun anggaran pendidikan kita ternyata termasuk terjelek di dunia.
Kalau kita mengacu publikasi badan
dunia UNDP, misalnya; anggaran pendidikan kita lebih jelek tidak saja dari
negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, nggris, Jerman dan Jepang;
tetapi juga dari negara berkembang lainnya, seperti Malaysia, Thailand,
Brasilia, Meksiko, dan Nigeria; bahkan ternyata juga lebih jelek dari
negara-negara terbelakang seperti Bangladesh, Burundi, Ethiopia, Nepal, Congo,
dan sebagainya.
Angka rata-rata anggaran pendidikan di negara maju mencapai 5,1 persen terhadap GNP, di negara berkembang 3,8 persen dan negara terbelakang 3,5 persen. Sementara itu, negara kita hanya mengalokasi dana kurang dua persen terhadap GNP.
Kita semua menyadari, bahwa untuk
memajukan dunia pendidikan nasional dan meningkatkan kualitas SDM bangsa sesuai
dengan yang dicita-citakan, maka pemenuhan alokasi anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD adalah menjadi keniscayaan.
Komitmen serius untuk terus meningkatkan anggaran pendidikan adalah persoalan
mendesak, jika kita betul-betul serius ingin mencerdaskan kehidupan bangsa ini
melalui pendidikan yang bermutu. Karena, UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) telah
mengamanahkan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya duapuluh persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional. Bahkan, UU Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sisdiknas Pasal 49 ayat (1) menegaskan bahwa dana pendidikan selain gaji
pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20%
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Selama ini Pemerintah bersama-sama
dengan DPR-RI telah sepakat untuk menempatkan alokasi anggaran pendidikan
menjadi prioritas tertinggi dalam penetapan APBN setiap tahun. Hal ini dapat
dilihat pada kenaikan anggaran di Departemen Pendidikan dan Agama yang melonjak
sangat tinggi pada tiga tahun terakhir. Upaya untuk memenuhi anggaran
pendidikan hingga mencapai 20 persen dari dana APBN, diluar gaji dan pendidikan
kedinasan, telah diupayakan untuk direalisasikan secara bertahap sampai tahun
2009. Rentang kenaikannya adalah dari yang semula hanya 6,6 % pada tahun 2004,
menjadi 9,3 % untuk tahun 2005, kemudian menjadi 12 % untuk tahun 2006, lalu
menjadi 14,7 % untuk tahun 2007, selanjutnya menjadi 17,4 % untuk tahun 2008,
dan pada tahun 2009 menjadi 21,1 %. Anggaran fungsi pendidikan pada tahun 2006
memang telah mencapai Rp45,3 triliun, meningkat menjadi Rp52,4 triliun pada
tahun 2007, dan direncanakan meningkat menjadi Rp61,4 triliun pada tahun 2008.
Anggaran pendidikan di APBN
sebenarnya terus naik cukup signifikan sejak 2003. Fenomena penurunan
persentase anggaran hanya sempat terjadi pada 2002. Ketika itu, anggaran
pendidikan hanya mendapatkan porsi 3,76 persen. Padahal, pada 2001 sudah
mencapai 4,55 persen.
Setelah itu, anggaran pendidikan
terus bertambah menjadi 4,15 persen pada 2003; 6,6 persen (2004); 7 persen
(2005); 9,1 persen (2006); dan 11,8 persen (2007). Dalam APBN 2007, pendidikan
telah berhasil mendapatkan porsi terbesar. Begitu juga dalam RAPBN 2008.
Dalam masalah partisipasi pendidikan
juga begitu halnya. Anak usia SD, SMP, SMA dan SMK di Jepang, Republik Korea,
Taiwan, Singapura, hampir seluruhnya sudah masuk sekolah. Mereka tidak saja
sekadar disuruh bersekolah tetapi juga diberi kesempatan dan fasilitas belajar
secara memadai.
Bagaimana di Indonesia? Sampai saat
ini masih banyak anak usia SD, SMP, SMA dan SMK yang tidak bersekolah. Secara
definitif angkanya sangat tinggi, mencapai jutaan anak. Angka partisipasi
pendidikan untuk tingkat SD, SMP, SMA dan SMK ternyata masih rendah. Ditambah
lagi dengan tingginya angka putus sekolah dan buta aksara.
Terkait dengan rendahnya partisipasi pendidikan, data Depdiknas 2006 menunjukan bahwa Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI/SDLB/Paket A baru mencapai 94,73%, Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP/MTs/SMPLB/Paket B sebesar 88, 68%, Angka Partisipasi Kasar (APK) SMA/MA/SMK/SMALB/ Paket C sebesar 55, 22%, dan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi baru mencapai 16,70%.
Adapun mengenai tingginya angka putus sekolah, tercatat bahwa angka putus sekolah tingkat SD sebanyak 2,97%, SMP 2,42%, SMA 3,06%, dan PT 5,9%. Sementara, tingginya jumlah warga negara yang masih buta huruf, tercatat bahwa dari total penduduk sebanyak 211.063.000, yang masih buta huruf pada usia 15 tahun ke atas, berjumlah 15.4 juta, dengan perbandingan laki-laki sebesar 5,8% dan perempuan sebesar 12,3%, dengan penyebaran di perkotaan sebesar 4,9% dan dipedesaan 12,2%.
Bahkan, berdasarkan data Departemen Pendidikan Nasional, hingga akhir tahun 2006, masih 12,88 juta penduduk Indonesia, tersebar di pedesaan dan perkotaan, yang buta aksara. Kondisi ini memang sedikit lebih baik dibandingkan kondisi di tahun 2005 yang sebanyak 14.595.088 orang. Walaupun demikian, masih belum mampu mengeluarkan Indonesia dari kelompok negara-negara (ada 34 negara) di dunia yang jumlah penduduk buta aksaranya di atas 10 juta orang.
Tingginya angka buta aksara inilah
yang memberi andil menempatkan peringkat IPM Indonesia di posisi bawah. Dua per
tiga dari total penilaian atas kriteria pendidikan didasarkan pada jumlah
penduduk di atas 15 tahun yang buta aksara. Artinya, jika angka buta aksaranya
masih tinggi maka nilai atas pendidikan jadi rendah.
Kesulitan dalam upaya pemberantasan
buta aksara di Indonesia disebabkan oleh kenyataan bila masih sangat banyak
anak yang putus sekolah bahkan tidak sekolah. Disamping itu, minimnya anggaran
juga disinyalir menjadi penyebab terhambatnya memberantas buta aksara. Pada
tahun 2006 lalu pemerintah hanya menanggarkan dana Rp. 175 miliar, padahal
dibutuhkan sedikitnya Rp. 450 miliar untuk menekan angka buta aksara. Kondisi
ini menunjukkan komitmen pemerintah pusat terhadap pendidikan yang masih sangat
rendah seiring dengan kecilnya alokasi anggaran pendidikan dalam APBN 2007,
yakni hanya 11,8 persen.
Memang pemerintah kita selalu
menganjurkan agar mereka mau masuk sekolah. Sayangnya, anjuran itu kurang
disertai dengan penyediaan fasilitas yang memadai, baik dari sisi jumlah maupun
mutu.
Soal peran dan posisi guru juga
demikian halnya. Pemerintah di negara-negara tetangga kita seperti Malaysia,
Brunei, Taiwan, Jepang, Vietnam, Singapura, dan sebagainya, sangat menghargai
peran guru dan memposisikannya sebagai pribadi yang sangat dihormati dan
disegani. Sebab, mereka tidak segan-segan menggaji guru dengan nilai yang
tinggi.
Guru di Vietnam digaji 600.000 dhong
(Dolar Vietnam) pada setiap bulannya, sementara kebutuhan hidup setiap bulan
untuk keluarga kecil hanya sekitar 200.000 dhong.
Guru di Jepang digaji sekitar 200.000 yen setiap bulannya, sementara kebutuhan hidup di setiap bulannya rata-rata hanya sekitar 100.000 s/d 150.000 yen untuk keluarga kecil. Pendeknya, dengan mengandalkan gajinya saja para guru di negara-negara tersebut bisa hidup layak dan menabung.
Guru di Jepang digaji sekitar 200.000 yen setiap bulannya, sementara kebutuhan hidup di setiap bulannya rata-rata hanya sekitar 100.000 s/d 150.000 yen untuk keluarga kecil. Pendeknya, dengan mengandalkan gajinya saja para guru di negara-negara tersebut bisa hidup layak dan menabung.
Bagaimana dengan guru di Indonesia?
Apakah para guru kita dapat hidup dengan layak dan menabung dengan mengandalkan
gajinya? Apakah peran dan posisi para guru terandalkan di masyarakat luas?
Tentunya kita semua sangat paham dengan kondisi yang senyatanya.
Ironisnya, Indonesia termasuk salah
satu negara yang jumlah guru berpendidikan primer setara S1 yang kurang dari 50
persen. Ini berarti dari jumlah 2,7 juta guru, sebanyak 1,35 juta orang guru
belum mencapai kualifikasi S1. Laporan Diknas tahun 2006 menjelaskan bahwa guru
yang memenuhi kualifikasi S1/D-IV, baru mencapai target 35,6% saja. Jadi,
sebanyak 64,4% guru belum memenuhi kualifikasi S1/D-IV. Sedangkan, dosen yang
memenuhi kualifikasi S2/S3 baru mencapai 54,02%. Jadi, masih ada sebanyak 45,08
% dosen yang belum memenuhi kualifikasi S2/S3. Pada tahun 2007, depdiknas baru
berhasil meningkatkan kualifikasi guru hingga S1/D4 sebanyak 81.800 guru dan
melakukan sertifikasi guru sebanyak 147.217 orang.
Padahal, dalam konteks pembangunan
sektor pendidikan, guru merupakan pemegang peran yang amat sentral. Guru adalah
jantungnya pendidikan. Tanpa denyut dan peran aktif guru, kebijakan pembaruan
pendidikan secanggih apa pun tetap akan sia-sia. Sebagus apa pun dan semodern
apa pun sebuah kurikulum dan perencanaan strategis pendidikan dirancang, jika
tanpa guru yang berkualitas, maka tidak ada gunanya. Artinya, pendidikan yang
baik dan unggul tetap akan tergantung pada kondisi mutu guru.
Hal ini ditegaskan UNESCO dalam laporan The International Commission on Education for Twenty-first Century, yakni "memperbaiki mutu pendidikan pertama-tama tergantung perbaikan perekrutan, pelatihan, status sosial, dan kondisi kerja para guru; mereka membutuhkan pengetahuan dan keterampilan, karakter personal, prospek profesional, dan motivasi yang tepat jika ingin memenuhi ekspektasi stakeholder pendidikan" (Jacques Delors 1996). Karena itu, upaya meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan para guru adalah suatu keniscayaan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 24/PUU-V/2007 yang memutuskan bahwa gaji guru masuk dalam anggaran pendidikan 20 persen, tidak boleh menjadi hambatan.
Hal ini ditegaskan UNESCO dalam laporan The International Commission on Education for Twenty-first Century, yakni "memperbaiki mutu pendidikan pertama-tama tergantung perbaikan perekrutan, pelatihan, status sosial, dan kondisi kerja para guru; mereka membutuhkan pengetahuan dan keterampilan, karakter personal, prospek profesional, dan motivasi yang tepat jika ingin memenuhi ekspektasi stakeholder pendidikan" (Jacques Delors 1996). Karena itu, upaya meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan para guru adalah suatu keniscayaan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 24/PUU-V/2007 yang memutuskan bahwa gaji guru masuk dalam anggaran pendidikan 20 persen, tidak boleh menjadi hambatan.
Pertanyaan yang muncul kemudian
adalah seberapa serius pemerintah menghormati dan menjunjung tinggi profesi
guru yang telah banyak berperan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta mencerdaskan kehidupan bangsa? Apa yang telah dilakukan pemerintah untuk
meningkatkan kinerja dan mutu profesi guru sebagai pendidik? Lalu bagaimana
dengan kesejahteraan dan nasib masa depan guru ditengah tuntutan dan himpitan
ekonomi saat ini?
Terlepas dari masih banyaknya
persoalan kebangsaan yang menjerat kita, dalam konteks pembangunan sektor
pendidikan, komitmen serius untuk terus meningkatkan mutu dan kesejahteraan
guru merupakan suatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, jika kita mau
betul-betul serius ingin membangun bangsa ini menjadi lebih beradab. Sebab,
guru yang bermutu dan sejahtera memegang peran amat sentral dalam proses
pendidikan.
Pemerintah telah mengalokasikan
anggaran pada program peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan tahun
2008 untuk kegiatan sertifikasi pendidik bagi sekitar 200.000 orang guru,
peningkatan kualifikasi akadeik guru ke S1/D4 sebanyak 270.000 guru,
peningkatan kompetensi guru Dikdas sebanyak 3.049 guru, dan peningkatan
kompetensi guru Dikmen sebanyak 12.828 guru.
Adanya komitmen untuk meningkatkan
kesejahteraan guru bisa dijadikan sebagai momentum pembangkit kembali idealisme
guru dalam membangun peradaban bangsa Indonesia. Sehingga, masa depan Indonesia
bisa lebih maju, berkualitas, berbudaya, cerdas, dan dapat bersaing dalam
percaturan dunia. Namun, persoalannya adalah bagaimana agenda tersebut dapat
diimplementasikan dan diwujudkan secara nyata, konkret, dan didasarkan atas
kemauan politik dan keseriusan tekad pemerintah.
Kita masih tetap mengharapkan peran strategis pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan, harkat, martabat, dan wibawa guru. Pemerintah harus komitmen dalam melaksanakan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sehingga pembangunan peradaban bangsa melalui sektor pendidikan dapat berjalan sesuai dengan harapan dan cita-cita kemerdekaan bangsa ini. Bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang mau memuliakan dan mensejahterakan guru.
Kita masih tetap mengharapkan peran strategis pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan, harkat, martabat, dan wibawa guru. Pemerintah harus komitmen dalam melaksanakan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sehingga pembangunan peradaban bangsa melalui sektor pendidikan dapat berjalan sesuai dengan harapan dan cita-cita kemerdekaan bangsa ini. Bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang mau memuliakan dan mensejahterakan guru.
Keadaan tersebut memberi gambaran
mengenai politik pendidikan di Indonesia yang masih jauh dari kata-kata surga
dan menjanjikan. Politik pendidikan kita belum mampu memberikan harapan konkret
atas kemajuan bangsa ini di masa depan.
Pendidikan di negara kita masih
berada (diletakkan) di ring marginal sehingga politik pendidikan kita sangat
rentan terhadap ekspansi gemerlapnya politik lain yang lebih dominan;
katakanlah dengan politik ekonomi, politik kebudayaan, politik keamanan, dan
yang lebih khusus politik kekuasaan.
Komitmen Politik untuk Pendidikan
Tidak bisa dibantah bahwa politik
pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya positif dan solid, bahkan ada yang
menyatakan "runyam". Masalahnya sekarang ialah bagaimana upaya yang
harus kita lakukan untuk membangun politik pendidikan yang solid dan menjanjikan
itu.
Banyak cara dapat dilakukan untuk
membangun politik pendidikan di suatu negara; namun keseluruhan cara itu
umumnya berawal dari komitmen para penentu politik pendidikan itu sendiri, yang
dalam hal ini antara lain ialah para elite politik, pejabat pemerintah serta
para pengambil kebijakan negara.
Mereka semua harus diketuk hatinya
supaya memiliki komitmen yang memadai sehingga dapat bersikap "sadar
didik" (sense of education). Artinya, menyadari pentingnya pendidikan
untuk membangun manusia dan bangsanya. Tanpa pendidikan (yang baik) tidaklah
mungkin suatu bangsa dapat berkembang secara konstruktif dinamis.
Komitmen seperti itulah yang belum
dimiliki oleh kebanyakan elite politik, pejabat pemerintah, serta para
pengambil kebijakan pemerintahan lainnya di negara kita pada umumnya. Para
"petinggi" negara kita sampai hari ini masih lebih mengutamakan
hal-hal yang bersifat jangka pendek daripada jangka panjang.
Mereka umumnya lebih senang membuat
keputusan-keputusan politik untuk kepentingan hari ini daripada kepentingan
hari esok. Mereka tampaknya lebih asyik bercengkerama dengan kepastian
sekelompok orang yang ada sekarang daripada nasib bangsa seperempat atau
setengah abad yang akan datang.
Mereka harus disadarkan bahwa nasib
bangsa kita sepuluh, dua puluh, dan tiga puluh tahun lagi sangat ditentukan
bagaimana kita mengelola pendidikan hari ini. Hal itu berarti, kalau kita
membuat kekeliruan dalam mengelola pendidikan di hari ini maka akibatnya akan
dirasakan oleh anak cucu kita di masa yang akan datang.
Di samping itu, dari kalangan
pendidik juga harus ada kesadaran untuk bisa menyelami dunia politik.
Maksudnya, masyarakat pendidikan harus aktif mempengaruhi para pengambil
keputusan di bidang pendidikan. Dengan begitu, kaum pendidik tidak lagi
terkungkung dalam dunianya, melainkan memiliki ruang gerak yang lebih leluasa
dan signifikan. Jangan sampai ada apriori berlebihan yang menganggap politik
itu selalu bermuka dua dan berkubang kemunafikan, sehingga dengan mempolitikkan
pendidikan berarti melakukan perbuatan tercela.
Paling tidak, kaum pendidik harus
berani memberikan pencerahan kepada para politisi bahwasanya pendidikan itu
bersifat antisipatoris dan prepatoris, yaitu selalu mengacu ke masa depan dan
selalu mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi kehidupan mendatang. Kalau
kemudian ada kesan bahwa pendidikan tak dapat berbuat apa-apa saat ini, maka
asumsi tersebut harus dirubah. Ke depan, pendidikan harus punya andil yang
lebih besar dalam membentuk tata kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan
kemajuan peradaban bangsa.
Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Bahkan, dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
ditegaskan bahwa, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dengan demikian, jelaslah bahwa
pendidikan bisa dijadikan sebagai sarana membangun kehidupan sosial politik dan
peradaban bangsa yang unggul. Karena, manusia-manusia yang lahir dari rahim
pendidikan adalah manusia-manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran,
berimanan, berakhlak mulia, memiliki kompetensi dan profesionalitas serta
sebagai warga negara yang bertanggung jawab.
Tentu saja, ada prinsip-prinsip yang diterapkan dalam penyelenggaraan pendidikan agar berfungsi untuk mendorong memantapkan kehidupan sosial politik dan peradaban bangsa yang unggul tersebut, sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 4, yaitu:
(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
(6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Keberanian kaum pendidik meluruskan arah pemikiran politisi tentang pendidikan sudah barang tentu merupakan terobosan besar, yang pada saatnya nanti diharapkan akan mampu melahirkan suatu budaya politik baru, budaya politik yang akan mendorong pelaku politik kita bertindak jujur dan cerdas, adil dan anti korupsi, atau paling tidak bersedia meredusir unsur-unsur hedonistis dan mengoptimalkan watak humanistik-patriotik.
Komitmen dan kesadaran seperti
itulah yang harus kita tumbuhkembangkan secara bersama untuk membangun politik
pendidikan yang solid dan menjanjikan. Tanpa adanya politik pendidikan yang
solid kita tidak akan mampu menjadi bangsa yang besar.
Categories: