Editor: Muhammad Roghibin
I. Pendahuluan
I. Pendahuluan
Dalam upaya merekonstruksi kebangkitan suatu masyarakat, negara, bahkan peradaban umat manusia, keberadaan mabda (ideologi) merupakan salah satu aspek penting yang menentukan kebangkitan dan pembentukan peradaban tersebut. Mabda merupakan aqidah aqliyah
(difahami melalui proses berfikir) yang melahirkan segenap peraturan
untuk memecahkan berbagai problematika kehidupan manusia . Dengan
memahami bahwa masyarakat adalah sekumpulan individu yang memiliki
pemikiran dan perasaan yang sama serta diikat oleh peraturan kehidupan
yang sama maka rekonstruksi suatu masyarakat dapat dilakukan dengan
perubahan terhadap unsur 2MQ yaitu mengubah Mafahim (pemahaman, cara berfikir), Maqayis (perasaan-perasaan) serta Qanaat (ketaatan, keterikatan terhadap nilai-nilai). Masyarakat yang memiliki maqayis, mafahim, dan qanaat yang bersumber dari mabda kapitalisme
maka kehidupannya senantiasa berjalan di atas rel ‘Sekulerisme’ begitu
pula dengan peradaban yang terbentuknya. Demikian halnya dengan mabda
sosialisme-komunisme yang mengarahkan unsur 2MQ dalam masyarakat
berjalan di atas rel ‘Dialektika Materialisme dan Atheisme’. Adapun
dengan mabda islam, masyarakat hendak diarahkan agar memiliki landasan (qaidah) dan arahan/kepemimpinan (qiyadah)
dalam berfikir, berperasaan serta mengikatkan diri pada peraturan yang
bersumber dari aqidah dan syariah islam dalam menjalani kehidupannya.
Bahkan dengan mabda islam tersebut umat manusia diarahkan untuk
membangun sebuah peradaban yang mulia melalui tegaknya institusi negara
yang menjamin terpeliharanya aqidah dan syariah tersebut dalam
kehidupan.
Saat ini kehidupan kaum muslimin di
berbagai negeri tengah didera oleh ideologi kapitalisme maupun
sosialisme-komunisme. Tidak terkecuali dengan Indonesia yang merupakan
salah satu negeri muslim terbesar di dunia kini tengah mengalami
berbagai macam keterpurukan akibat mengemban ideologi tersebut. Secara
praktis, mafahim, maqayis, dan qanaah yang dimiliki oleh masyarakatpun
tidak sepenuhnya diberikan kepada Islam, melainkan kepada kapitalisme
maupun sosialisme-komunisme. Oleh karena itu merupakan suatu kewajiban
pula bagi kaum muslimin untuk mengembalikan unsur 2MQ tersebut kepada
mabda Islam melalui aktifitas dakwah yang dilakukan secara berjamaah
dalam berinteraksi dengan masyarakat hingga dapat menanamkan nilai-nilai
baru ditengah-tengah masyarakat secara berkesinambungan.
Dalam pendekatan sistemik, diantara ushlub
(strategi) dakwah yang dapat dilakukan adalah melalui perubahan sistem
pendidikan nasional yang saat ini berkarakteristik sekuler agar menjadi
sistem pendidikan yang berbasiskan syari’ah islam.
Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa, Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan
definisi ini, dapat difahami bahwa pendidikan nasional berfungsi sebagai
proses untuk membentuk kecakapan hidup dan karakter bagi warga
negaranya dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang
bermartabat, meskipun nampak ideal namun arah pendidikan yang sebenarnya
adalah sekularisme yaitu pemisahan peranan agama dalam pengaturan
urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh. Dalam UU Sisdiknas tidak
disebutkan bahwa yang menjadi landasan pembentukan kecakapan hidup dan
karakter peserta didik adalah nilai-nilai dari aqidah islam, melainkan
justru nilai-nilai dari demokrasi.
Pemerintah dalam hal ini berupaya
mengaburkan realitas (sekulerisme pendidikan) tersebut, sebagaimana
terungkap dalam pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan, “Pendidikan
nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap,
serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab
terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” Sepintas, tujuan
pendidikan nasional di atas memang tidak nampak sekuler, namun perlu
difahami bahwa sekularisme bukanlah pandangan hidup yang sama sekali
tidak mengakui adanya Tuhan. Melainkan, meyakini adanya Tuhan sebatas
sebagai pencipta saja, dan peranan-Nya dalam pengaturan kehidupan
manusia tidak boleh dominan. Sehingga manusia sendirilah yang dianggap
lebih berhak untuk mendominasi berbagai pengaturan kehidupannya
sekaligus memarjinalkan peranan Tuhan.
Keterpurukan yang diakibatkan dari penerapan sistem pendidikan nasional yang sekuler antara lain:
- Berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun 2001 saja menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (www.kompas.com).
- Laporan United Nations Development Program (UNDP) tahun 2004 dan 2005, menyatakan bahwa Indeks pembangunan manusia di Indonesia ternyata tetap buruk. Tahun 2004 Indonesia menempati urutan ke-111 dari 175 negara. Tahun 2005 IPM Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 177 negara. Posisi tersebut tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Berdasarkan IPM 2004, Indonesia menempati posisi di bawah negara-negara miskin seperti Kirgistan (110), Equatorial Guinea (109) dan Algeria (108). Bahkan jika dibandingkan dengan IPM negara-negara di ASEAN seperti Singapura (25), Brunei Darussalam (33) Malaysia ( 58), Thailand (76), sedangkan Filipina (83). Indonesia hanya satu tingkat di atas Vietnam (112) dan lebih baik dari Kamboja (130), Myanmar (132) dan Laos (135) (www.suarapembaruan.com/16 juli 2004 dan Pan Mohamad Faiz. 2006).
- Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan jumlah pengguna narkoba di lingkungan pelajar SD, SMP, dan SMA pada tahun 2006 mencapai 15.662 anak. Rinciannya, untuk tingkat SD sebanyak 1.793 anak, SMP sebanyak 3.543 anak, dan SMA sebanyak 10.326 anak. Dari data tersebut, yang paling mencengangkan adalah peningkatan jumlah pelajar SD pengguna narkoba. Pada tahun 2003, jumlahnya baru mencapai 949 anak, namun tiga tahun kemudian atau tahun 2006, jumlah itu meningkat tajam menjadi 1.793 anak (www.pikiran-rakyat.com). Selain itu, kalangan pelajar juga rentan tertular penyebaran penyakit HIV/AIDS. Misalnya di kota Madiun-Jatim, dari data terakhir yang dilansir Yayasan Bambu Nusantara Cabang Madiun, organisasi yang konsen masalah HIV/AIDS, menyebutkan kasus Infeksi Seksual Menular (IMS) yang beresiko tertular HIV/AIDS menurut kategori pendidikan sampai akhir Oktober 2007 didominasi pelajar SMA/SMK sebanyak 51 %, pelajar SMP sebesar 26%, mahasiswa sebesar 12% dan SD/MI sebesar 11% (news.okezone.com). Dalam hal tawuran, di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tingkat tawuran antar pelajar sudah mencapai ambang yang cukup memprihatinkan. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat, dalam satu hari di Jakarta terdapat sampai tiga kasus perkelahian di tiga tempat sekaligus (www.smu-net.com).
- Pencapaian APK (Angka Partisipasi Kasar) dan APM (Angka Partisipasi Murni) sebagai indikator keberhasilan program pemerataan pendidikan oleh pemerintah, hingga tahun 2003 secara nasional ketercapaiannya ternyata masih rendah, hal ini didasarkan pada indikator: (1) anak putus sekolah tidak dapat mengikuti pendidikan (usia 7-15) sekira 693.700 orang atau 1,7%, (2) putus sekolah SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke jenjang pendidikan menengah mencapai 2,7 juta orang atau 6,7% dari total penduduk usia 7-15 tahun (Pusat Data dan Informasi Depdiknas, 2003). Rasio partisipasi pendidikan rata-rata hanya mencapai 68,4 persen. Bahkan, masih ada sekitar 9,6 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf. (www.republikaonline.com) sampai sekarang masih terdapat 9 provinsi dengan jumlah buta aksara terbesar usia 10 tahun ke atas dan 15-44 tahun, yakni: Jawa Timur (1.086.921 orang), Jawa Tengah (640.428), Jawa Barat (383.288), Sulawesi Selatan (291.230), Papua (264.895), Nusa Tenggara Barat (254.457), Nusa Tenggara Timur (117.839), Kalimantan Barat (117.338), dan Banten (114.763 orang). (www.pikiran-rakyat.com).
- Data dari Balitbang Depdiknas 2003 yang menyebutkan bahwa porsi biaya pendidikan yang ditanggung orang tua/siswa berkisar antara 63,35%-87,75% dari biaya pendidikan total. Sedangkan menurut riset Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2006 di 10 Kabupaten/Kota se-Indonesia ternyata orang tua/siswa pada level SD masih menanggung beban biaya pendidikan Rp 1,5 Juta, yang terdiri atas biaya langsung dan tak langsung. Selain itu, beban biaya pendidikan yang ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat (selain orang tua/ siswa) hanya berkisar antara 12,22%-36,65% dari biaya pendidikan total (Koran Tempo, 07/03/2007). Menurut laporan dari bank dunia tahun 2004, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana penyelenggaraan pendidikan nasionalnya padahal pada saat yang sama pemerintah India telah dapat menanggung pembiayaan pendidikan 89%. Bahkan jika dibandingkan dengan negara yang lebih terbelakang seperti Srilanka, persentase anggaran yang disediakan oleh pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah. (www.worldbank.com).
- Perumusan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang sudah berlangsung sejak 2004 dinilai oleh pengamat ekonomi Tim Indonesia Bangkit (TIB), Revrisond Bashwir sebagai agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi sektor pendidikan. Semua satuan pendidikan (sekolah) kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
- Kebijakan UN yang banyak ditentang oleh masyarakat karena dinilai diskriminatif dan hanya menghamburkan anggaran pendidikan, antara lain ditentang oleh Koalisi Pendidikan yang terdiri dari Lembaga Advokasi Pendidikan (LAP), National Education Watch (NEW), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), The Center for the Betterment Indonesia (CBE), Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Forum Guru Honorer Indonesia (FGHI), Forum Aksi Guru Bandung (FAGI-Bandung), For-Kom Guru Kota Tanggerang (FKGKT), Lembaga Bantuan Hukum (LBH-Jakarta), Jakarta Teachers and Education Club (JTEC), dan Indonesia Corruption Watch (ICW), berdasarkan kajian terhadap UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Kepmendiknas No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional, Koalisi Pendidikan menemukan beberapa kesenjangan (www.tokohindonesia.com).
- Rendahnya tingkat kesejahteraan guru yang berpengaruh terahadap rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. Guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
- Realisasi anggaran pendidikan yang masih sedikit. Ketentuan anggaran pendidikan dalam UU No.20/2003 pasal dinyatakan bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (ayat 1). Realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD ternyata masih sangat sulit untuk dilakukan pemerintah, bahkan skenario yang diterapkan pun masih mengalokasikan dana pendidikan dari APBN/APBD dalam jumlah yang terbatas yaitu Total Belanja Pemerintah Pusat menurut APBN 2006 adalah sebesar Rp 427,6 triliun. Dari jumlah tersebut, jumlah yang dianggarkan untuk pendidikan adalah sebesar Rp36,7 triliun. Sedangkan asumsi kebutuhan budget anggaran pendidikan adalah 20% dari Rp. 427,6 triliun atau sebesar Rp. 85,5 triliun, maka masih terdapat defisit atau kekurangan kebutuhan dana pendidikan sebesar Rp 47,9 triliun. Skenario progresif pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah pada tanggal 4 Juli 2005 yang lalu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7 persen per tahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6 % (2004), 9,29 % (2005), 12,01 % (2006), 14,68 % (2007), 17,40 % (2008), dan 20,10 % (2009). Bandingkan dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006 (Pan Mohamad Faiz;2006).Tahun 2007 hanya mencapai 11,8 persen. Nilai ini setara dengan Rp 90,10 triliun dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun.(www.tempointeraktif.com).
- Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja. Pada tahun 2009 diperkirakan ada 116,5 juta orang yang akan mencari kerja (www.kompas.com).
Data di atas merupakan beberapa indikator
yang menunjukan betapa sistem pendidikan nasional kita saat ini tengah
didera oleh berbagai problematika, yang pada akhirnya penyelenggaraan
pendidikan tidak dapat memberikan penyelesaian terhadap permasalahan
pembentukan karakter insan yang berakhlak mulia, pembentukan
keterampilan hidup, penguasaan IPTEK untuk peningkatan kualitas dan
taraf hidup masyarakat, serta memecahkan berbagai problematika kehidupan
lainnya. Padahal diantara tujuan semula pendidikan adalah untuk itu
semua.
III. Pemecahan Masalah
1. Solusi Masalah Mendasar
Penyelesaian masalah mendasar tentu harus
dilakukan secara fundamental. Penyelesaian itu hanya dapat diwujudkan
dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang diawali dari
perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma pendidikan
Islam. Hal ini sangat penting dan utama. Artinya, setelah masalah
mendasar diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan
dapat diselesaikan (yang antara lain dikelompokan menjadi masalah
aksesibilitas pendidikan, relevansi pendidikan, pengelolaan dan
efisiensi, hingga kualitas pendidikan).
Solusi masalah mendasar tersebut adalah
dengan melakukan pendekatan sistemik yaitu secara bersamaan dan
menyeluruh agar sistem pendidikan dapat berubah lebih baik maka harus
pula dilakukan perubahan terhadap paradigma dalam penyelenggaraan sistem
ekonomi yang kapitalistik menjadi islami, tatanan sosial yang permisif
dan hedonis menjadi islami, tatanan politik yang oportunistik menjadi
islami, dan ideologi kapitalisme-sekuler menjadi mabda islam, sehingga
perubahan sistem pendidikan yang materialistik pun dapat diubah menjadi
pendidikan yang dilandasi oleh aqidah dan syariah islam sesuai dengan
karakteristiknya. Perbaikan semacam ini pun perlu dikokohkan dengan
aspek formal, yaitu dengan dibuatnya regulasi tentang pendidikan yang
berbasiskan pada konsep syari’ah Islam.
Upaya perbaikan secara tambal sulam dan
parsial, semisal perbaikan hanya terhadap kurikulum, tenaga pendidik dan
kependidikan, sarana-prasarana, pendanaan dan sebagainya tidak akan
dapat berjalan dengan optimal sepanjang permasalahan mendasarnya belum
diperbaiki. Salah satu bentuk nyata dari solusi mendasar itu adalah
mengubah total UU Sistem Pendidikan yang ada dan menggantinya dengan UU
Sistem Pendidikan (Syari’ah) Islam. Hal paling mendasar yang wajib
diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem
pendidikan itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem
pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum.
2. Solusi Untuk Permasalahan Derivat (Turunan)
Permasalahan cabang dalam sistem pendidikan nasional kita diantaranya dapat dikelompokan sebagai berikut:
1) Keterbatasan aksesibilitas dan
daya tampung,; 2) Kerusakan sarana dan prasarana; 3) Kekurangan tenaga
guru; 4) Kinerja dan kesejahteraan guru yang belum optimal; 5) Proses
pembelajaran yang konvensional; 6) Jumlah dan kualitas buku yang belum
memadai; 7) Otonomi Pendidikan; Keterbatasan anggaran; 9) Mutu SDM Pengelola pendidikan; 10) Life skill yang dihasilkan belum optimal (Diknas Jabar. Makalah UPI EXPO 2006).
Untuk menyelasaikan masalah-masalah
cabang di atas, diantaranya juga tetap tidak bisa dilepaskan dari
penyelesaian terhadap masalah mendasar. Sehingga dalam hal ini
diantaranya secara garis besar terdapat dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik. Yakni
solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem
pendidikan, antara lain: sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial,
ideologi, dan lainnya. Penerapan ekonomi syari’ah sebagai pengganti
ekonomi kapitalis ataupun sosialis akan menyeleraskan paradigma
pemerintah dan masyarakat tentang penyelenggaraan pendidikan, dimana
pendidikan sebagai salah satu kewajiban negara yang harus diberikan
kepada rakyatnya dengan tanpa adanya pembebanan biaya yang memberatkan
ataupun diskriminasi terhadap masyarakat yang tidak memiliki sumber dana
(capital) untuk mengenyam pendidikan, karena pendanaan
pendidikan harus dialokasikan dari kas negara, bukan dibebankan kepada
rakyat sebagaimana Rasulullah Saw pernah mencontohkan dengan menetapkan
tebusan bagi orang-orang kafir yang menjadi tawanan dalam perang Badar
dengan mengajari masing-masing sepuluh anak kaum muslimin, padahal
harta tebusan tersebut statusnya merupakan ghanimah yang akan disimpan
dalam Baitul Maal (kas negara) dan menjadi milik kaum muslimin (Struktur Negara Khilafah hal.213: HTI Press). Atas dasar inilah jaminan pendidikan terhadap rakyat merupakan kewajiban negara.
Penerapan sistem politik islam sebagai
pengganti sistem politik sekuler akan memberikan paradigma dan frame
politik yang dilakukan oleh penguasa dan masyarakat, dimana politik akan
difahami sebagai aktifitas perjuangan untuk menjamin terlaksananya
pengaturan berbagai kepentingan ummat oleh penguasa termasuk diantaranya
dalam menetapkan kebijakan bidang pendidikan, sehingga bukan malah
sebaliknya menyengsarakan ummat dengan memaksa mereka agar melayani
penguasa. Penerapan sistem sosial yang islami sebagai pengganti sistem
sosial yang hedonis dan permisif akan mampu mengkondisikan masyarakat
agar memiliki kesadaran yang tinggi terhadap kewajiban terikat pada
hukum-hukum syari’at sehingga masyarakat akan menyadari pula bahwa peran
mereka dalam mensinergiskan pendidikan di sekolah adalah sebagai pihak
yang dapat memberikan tauladan sekaligus mengontrol aplikasi nilai-nilai
pendidikan yang diperoleh siswa di sekolah.
Secara keseluruhan perbaikan sistem ini
akan dapat terlaksana jika pemerintah menyadari fungsi dan tanggung
jawabnya sebagai pemimpin. Rasulullah Saw bersabda:
“Seorang Imam ialah (laksana) penggembala dan Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya)”. (HR. Muslim)
Kedua, solusi teknis. Yakni
solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan internal dalam
penyelenggaraan sistem pendidikan. Diantaranya, secara tegas, pemerintah
harus mempunyai komitmen untuk mengalokasikan dana pendidikan nasional
dalam jumlah yang memadai yang diperoleh dari hasil-hasil eksploitasi
sumber daya alam yang melimpah yang merupakan milik ummat, menyita
kembali harta milik rakyat yang telah dicuri oleh para koruptor baik
dari kalangan penguasa, aparat pemerintah mauapun para pelaku usaha.
Dengan adanya ketersediaan dana tersebut, maka pemerintahpun dapat
menyelesaikan permasalahan aksesibilitas pendidikan dengan memberikan
pendidikan gratis kepada seluruh masyarakat usia sekolah dan siapapun
yang belum bersekolah baik untuk tingkat pendidikan dasar (SD-SMP)
maupun menengah (SLTA), bahkan harus pula berlanjut pada jenjang
perguruan tinggi. Merekrut jumlah tenaga pendidik dan kependidikan
sesuai kebutuhan di lapangan disertai dengan adanya peningkatan kualitas
dan kompetensi yang tinggi, jaminan kesejahteraan dan penghargaan untuk
mereka. Pembangunan sarana dan prasarana yang layak dan berkualitas
untuk menunjang proses belajar-mengajar. Penyusunan kurikulum yang
berlandaskan pada nilai-nilai syari’ah (Al-Qur’an dan As-Sunnah).
Melarang segala bentuk kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan baik
oleh pemerintah maupun masyarakat, serta menjamin terlaksananya
pendidikan yang berkualitas dengan menghasilkan lulusan yang mampu
menjalani kehidupan dunia dengan segala kemajuannya (setelah menguasai
ilmu pengetahuan dan keterampilan teknologi serta seni baik yang berasal
dari islam maupun dari non islam sepanjang bersifat umum) dan
mempersiapkan mereka untuk mendapatkan bagiannya dalam kehidupan di
akhirat kelak dengan adanya penguasaan terhadap tsaqofah islam dan
ilmu-ilmu keislaman lainnya.
IV. Sistem Pendidikan Berbasis Syari’ah
Seperti diungkapkan di atas, bahwa sistem
pendidikan Islam merupakan alternatif solusi mendasar untuk
menggantikan sistem pendidikan sekuler saat ini. Bagaimanakah gambaran
sistem pendidikan Islam tersebut? Berikut uraiannya secara sekilas.
1. Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan upaya sadar,
terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk
manusia yang berkarakter (khas) Islami. Antara lain:
Pertama, berkepribadian Islam (shaksiyah islamiyah).
Ini sebetulnya merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim. Intinya,
seorang Muslim harus memiliki dua aspek yang fundamental, yaitu pola
pikir (’aqliyyah) dan pola jiwa (nafsiyyah) yang berpijak pada akidah
Islam.
Untuk mengembangkan kepribadian Islam,
paling tidak, ada tiga langkah yang harus ditempuh, sebagaimana yang
dicontohkan Rasulullah saw., yaitu:
- Menanamkan akidah Islam kepada seseorang dengan cara yang sesuai dengan kategori akidah tersebut, yaitu sebagai ‘aqîdah ‘aqliyyah (akidah yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam).
- Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah terbentuk pada seseorang dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah islâmiyah dan mengamalkan ketaatan kepada Allah SWT.
- Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah pada orang yang sudah memiliki akidah Islam agar cara berpikir dan berprilakunya tetap berada di atas pondasi akidah yang diyakininya.
Kedua, menguasai perangkat ilmu dan pengetahuan (tsaqâfah) Islam.
Islam telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan
takaran kewajibannya, menurut al-Ghazali, ilmu dibagi dalam dua
kategori, yaitu:
- Ilmu yang termasuk fardhu ‘ain (kewajiban individual), artinya wajib dipelajari setiap Muslim, yaitu tsaqâfah Islam yang terdiri dari konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab; sirah Nabi saw., Ulumul Quran, Tahfizh al-Quran, ulumul hadis, ushul fikih, dll.
- Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah (kewajiban kolektif); biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu terapan-keterampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll.
Ketiga, menguasai ilmu kehidupan (Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni/IPTEKS).
Menguasai IPTEKS diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan
material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di
muka bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu kifayah,
yaitu jika ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti
kedokteran, kimi, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll.
Begitu pula dengan penguasaan terhadap seni, dimana seni merupakan
sesuatu yang dibutuhkan pula baik secara langsung maupun tidak langsung
untuk menyelaraskan teknologi dengan fitrah manusia yang menyenangi
keindahan (sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan syara’).
Keempat, memiliki keterampilan yang memadai.
Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis serta latihan-latihan
keterampilan dan keahlian merupakan salah satu tujuan pendidikan Islam,
yang harus dimiliki umat Islam dalam rangka melaksanakan tugasnya
sebagai khalifah Allah SWT. Sebagaimana penguasaan IPTEKS, Islam juga
menjadikan penguasaan keterampilan sebagai fardlu kifayah, yaitu jika
keterampilan tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti rekayasa industri,
penerbangan, pertukangan, dan lainnya.
2. Pendidikan Islam Adalah Pendidikan Terpadu
Agar keluaran pendidikan menghasilkan SDM
yang sesuai harapan, harus dibuat sebuah sistem pendidikan yang
terpadu. Artinya, pendidikan tidak hanya terkonsentrasi pada satu aspek
saja. Sistem pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsur pembentuk
sistem pendidikan yang unggul. Dalam hal ini, minimal ada 3 hal yang
harus menjadi perhatian, yaitu:
Pertama, sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga.
Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur di atas. Sebab,
ketiga unsur di atas menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan.
Saat ini ketiga unsur tersebut belum berjalan secara sinergis, di
samping masing-masing unsur tersebut juga belum berfungsi secara benar.
Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada
sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah-tengah
masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas, narkoba, dan
sebagainya. Pada saat yang sama, situasi masyarakat yang buruk jelas
membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah
keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimal. Apalagi jika
pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah
kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.
Kedua, kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi.
Kurikulum sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi jaminan bagi
ketersambungan pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya.
Selain muatan penunjang proses pembentukan kepribadian Islam yang secara
terus-menerus diberikan mulai dari tingkat TK hingga PT, muatan
tsaqâfah Islam dan Ilmu Kehidupan (IPTEK, keahlian, dan keterampilan)
diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat
kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing.
Pada tingkat dasar atau menjelang usia baligh (TK dan SD), penyusunan
struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar, umum, terpadu,
dan merata bagi semua anak didik yang mengikutinya. Khalifah Umar bin al-Khaththab, dalam wasiat yang dikirimkan kepada gubernur-gubernurnya, menuliskan,
“Sesudah itu, ajarkanlah kepada anak-anakmu berenang dan menunggang
kuda, dan ceritakan kepada mereka adab sopan-santun dan syair-syair yang
baik.”
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik mewasiatkan kepada Sulaiman al-Kalb, guru anaknya,
“Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya mataku. Saya mempercayaimu untuk
mengajarnya. Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan tunaikanlah
amanah. Pertama, saya mewasiatkan kepadamu agar engkau mengajarkan
kepadanya al-Quran, kemudian hafalkan kepadanya al-Quran…”
Di tingkat Perguruan Tinggi (PT),
kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Ideologi
sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme, misalnya, dapat
diperkenalkan kepada kaum Muslim setelah mereka memahami mabda Islam
secara utuh. Pelajaran ideologi selain mabda Islam dan konsepsi-konsepsi
lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk
dijelaskan dan dipahami cacat-celanya serta ketidaksesuaiannya dengan
fitrah manusia, agar menjadi pemahamaan untuk menguraikan kerusakan
mabda selain islam tersebut.
Ketiga, berorientasi pada pembentukan tsaqâfah Islam, kepribadian Islam, dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan.
Ketiga hal di atas merupakan target yang harus dicapai. Dalam
implementasinya, ketiga hal di atas menjadi orientasi dan panduan bagi
pelaksanaan pendidikan.
3. Pendidikan Adalah Tanggung Jawab Negara
Islam merupakan sebuah sistem yang
memberikan solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi manusia.
Setiap solusi yang disajikan Islam secara pasti selaras dengan fitrah
manusia. Dalam konteks pendidikan, Islam telah menentukan bahwa
negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan
dengan sistem pendidikan yang diterapkan dan mengupayakan agar
pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Rasulullah saw.
Bersabda: “Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Perhatian Rasulullah saw. Terhadap dunia
pendidikan tampak ketika beliau menetapkan para tawanan Perang Badar
dapat bebas jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang anak
kaum muslimin Madinah. Hal ini merupakan tebusan. Dalam pandangan
Islam, barang tebusan itu merupakan hak Baitul Mal (Kas
Negara). Tebusan ini sama nilainya dengan pembebasan tawanan Perang
Badar. Artinya, Rasulullah saw. Telah menjadikan biaya pendidikan itu
setara nilainya dengan barang tebusan yang seharusnya milik Baitul Mal.
Dengan kata lain, beliau memberikan upah kepada para pengajar (yang
tawanan perang itu) dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik
Baitul Mal. Kebijakan beliau ini dapat dimaknai, bahwa kepala negara
bertanggung jawab penuh atas setiap kebutuhan rakyatnya, termasuk
pendidikan.
Ibnu Hazm, dalam kitabnya, Al-Ihkâm,
menjelaskan bahwa kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi
sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik
masyarakat. Jika kita melihat sejarah Kekhalifahan Islam, kita akan
melihat begitu besarnya perhatian para khalifah terhadap pendidikan
rakyatnya. Demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya.
Imam ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari al-Wadliyah bin Atha’ yang menyatakan, bahwa di kota Madinah pernah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin al-Khaththab memberikan gaji kepada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25
gram emas). Jika harga 1 gram emas=Rp 200.000,00, maka gaji seorang
pendidik yang diberikan oleh Daulah Khilafah sejak 13 abad yang lalu
jumlahnya mencapai Rp 12.750.000,00 (subhanallah), sungguh merupakan
angka yang fantastis, apalagi jika dibandingkan dengan saat ini dimana
berlangsungnya sistem ekonomi kapitalisme telah nyata sangat tidak
menghargai peran pendidik, semisal upah yang didapatkan seorang guru
honorer hanya berkisar Rp 5.000-30.000 untuk setiap jam pelajaran dengan
perhitungan kerja riil satu bulan namun gajinya hanya dihitung satu
minggu.
Perhatian para khalifah tidak hanya
tertuju pada gaji pendidik dan sekolah, tetapi juga sarana pendidikan
seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Pada masa
Kekhilafahan Islam, di antara perpustakaan yang terkenal adalah
perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja‘far bin Muhammad
(w. 940 M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk
membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala
alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta, kertas, dll.
Bahkan para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan itu
diberi pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut ar-Rumi
memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka
mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang.
Ini terjadi pada masa Kekhalifahan Islam abad 10 M. Bahkan para khalifah
memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis buku,
yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya.
4. Sistem Pendidikan Islam bersifat Multidisipliner
Sistem pendidikan Islam juga sekaligus
merupakan sub sistem yang tak terlepas dari pengaruh sub sistem yang
lain dalam penyelenggaraannya. Sistem ekonomi, politik, sosial-budaya,
dan idoelogi akan sangat menentukan keberhasilan penyelenggaran sistem
pendidikan yang berbasiskan aqidah dan syari’ah islam. Sebagaimana telah
diuraikan di atas bahwa dengan sistem ekonomi yang islami maka
penyediaan dana pendidikan akan menjadi perhatian penting negara agar
dapat dialokasikan dari kas negara dalam jumlah yang memadai, yang
sumber-sumbernya dapat diperoleh dari hasil pengelolaan kepemilikan umum
yang saat ini di Indonesia misalnya, jumlahnya masih melimpah seperti
barang tambang, mineral, hasil hutan, kekayaan laut, maupun dari hasil
penyitaan kembali asset rakyat yang dikorupsi oleh para pejabat,
pemerintah, dan pengusaha. Sistem politik yang islami akan mengarahkan
penguasa untuk mengambil kebijakan yang berpihak pada rakyat sebagai
konsekuensi dari aktifitas politiknya yaitu riayah syu’unil ummah
(mengatur urusan-urusan ummat) termasuk kebijakan dalam bidang
pendidikan yang harus didasarkan pada aqidah dan syari’ah islam. Sistem
sosial-budaya yang islami akan mengarahkan masyarakat memiliki
perspektif yang benar tentang wajibnya berpendidikan, memiliki motivasi
yang tinggi untuk menggali ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan dan
menciptakan berbagai kreasi yang bermanfaat untuk kemaslahatan hidup.
Selain itu sistem sosial-budaya yang islami juga akan mampu menjadi
filter dan pengendali terhadap berbagai aktifitas yang dilakukan oleh
individu dalam masyarakat, dimana satu sama lain akan menyadari tentang
kewajiban amar ma’ruf nahyi munkar, yang dengan aktifitas ini
maka hasil pendidikan di sekolah dapat bersinergi dengan
pengaplikasiannya di masyarakat. Adapun ideologi, merupakan aspek yang
sangat berpengaruh terhadap pendidikan karena antara keduanya saling
mempengaruhi, yakni pendidikan merupakan salah satu proses
menginternalisasikan ideologi kepada semua warga negara dan ideologi
merupakan asas bagi penyelenggaran sistem pendidikan tersebut.
Dengan demikian maka pengaruh berbagai
sistem lainnya terhadap keberhasilan penyelenggaran sistem pendidikan
islam memiliki keterkaitan yang erat. Sedangkan Boundary
(sistem yang menaungi semua sistem) terhadap berbagai sistem tersebut
adalah sistem pemerintahan/ negara. Oleh karenanya penjuangan terhadap
terlaksananya sistem pendidikan yang berbasis syari’ah juga tidak
terlepas dari perjuangan terhadap wajibnya menegakan kembali institusi
Daulah Khilafah Islamiyah sebagai institusi yang akan menjamin penerapan
hukum-hukum islam dalam semua aspek secara kaffah.
DAFTAR PUSTAKA
UU No.20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
PP No. 19/2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1996. Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam. Bangil-Jatim: Al-Izzah
Muhamad Shidiq Al-Jawi. Pendidikan Di Indonesia, Masalah dan Solusinya. Artikel. www.khilafah1924.org
Panduan KKN Wajar Dikdas 9 Tahun, UPI 2006.
Bulletin Epitech 2006, Disdik Prov.Jabar.
______. Struktur Negara Khilafah. 2005: HTI Press
Categories: