Oleh: Dr. Ainurrofiq Dawam, M.A

Pengantar
Tulisan berikut ini merupakan suntingan dari Dr. Ainurrofiq, doktor muda dalam bidang pendidikan Islam dari UIN Yogyakarta. Pria berkacamata tebal ini mencoba melihat pendidikan Islam dewasa ini dengan mengaitkan pada persoalan moralitas bangsa. Dr. Ainurrofiq adalah alumnus S.3 UIN Jakarta yang cukup produktif menulis buku dan memberikan kata pengantar buku yang menelaah tentang pendidikan dan lain sebagainya.
Tulisan ini juga menyoroti perjalanan pendidikan Islam di Indonesia, yang sampai saat ini masih menduduki ranking kurang begitu bagus dibanding negara-negara lainnya. Kurangnya perhatian pemerintah pusat dan menitikberatkan pembangunan pada sektor ekonomi menyebabkan pembangunan jiwa dan mental bangsa menjadi termarjinalkan. Padahal pembangunan mental, jiwa, dan moral bangsa adalah sebuah keharusan dan keniscayaan sejarah yang tidak bisa ditawar-tawar, khususnya bagi bangsa Indonesia sebagaimana dijelaskan secara panjang lebar dalam buku ini. Pendidikan moral bukan pendidikan ekonomi yang paling penting bagi bangsa Indonesia. Pendidikan ekonomi tanpa didukung dengan pendidikan moral yang kuat hanya akan memunculkan pemimpin-pemimpin yang berpenyakit kronis. Harapan telah tiba, dengan dinaikannnya anggaran pendidikan (20 persen), sudah siapkah mental para pnegelola pendidikan? Semoga saja.
Indonesia adalah sebuah negara besar yang memiliki penduduk ratusan juta jiwa. Indonesia juga adalah negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Menurut sebuah perhitungan manusia Muslim Indonesia adalah jumlah pemeluk agam Islam terbesar di dunia. Jika dibanding dengan negara-negara Muslim lainnya, maka penduduk Muslim Indonesia dari segi jumlah tidak ada yang menandingi. Jumlah yang besar tersebut sebenarnya merupakan sumber daya manusia dan kekuatan yang sangat besar, bila mampu dioptimalkan peran dan kualitasnya. Jumah yang sangat besar tersebut juga mampu menjadi kekuatan sumber ekonomi yang luar biasa. Jumlah yang besar di atas juga akan menjadi kekuatan politik yang cukup signifikan dalam percaturan nasional.
Namun realitas membuktikan lain. Jumlah manusia Muslim yang besar tersebut ternyata tidak mamiliki kekuatan sebagaimana seharusnya yang dimiliki. Jumlah yang sangat besar di atas belum didukung oleh kualitas dan kekompakan serta loyalitas manusia Muslim terhadap sesama, agama, dan para fakir miskin yang sebagian besar (untuk tidak mengatakan semuanya) adalaha kaum Muslimin juga. Kualitas manusia Muslim belum teroptimalkan secara individual apalagi secara massal. Kualitas manusia Muslim Indonesia masih berada di tingkat menengah ke bawah. Memang ada satu atau dua orang yang menonjol, hanya saja kemenonjolan tersebut tidak mampu menjadi lokomotif bagi rangkaian gerbong manusia Muslim lainnya. Apalagi bila berbicara tentang kekompakan dan loyalitas terhadap agama, sesame, dan kaum fakir miskin papa. Sebagian besar dari manusia Muslim yang ada masih berkutat untuk memperkaya diri, kelompok, dan pengurus partainya sendiri. Masih sangat sedikit manusia Muslim Indonesia yang berani secara praktis—bukan hanya orasi belaka—memberikan bantuan dan pemberdayaan secara tulus ikhlas kepada sesame umat Islam, khususnya para kaum fakir miskin papa.
Paradoksal fenomena di atas, yakni jumlah manusia Muslim Indonesia yang sangat besar akan tetapi tidak memiliki kekuatan ideologi, kekuatan politik, kekuatan ekonomi, kekuatan budaya, dan kekuatan gerakan adalah secara tidak langsung merupakan dari hasil pola pendidikan Islam selama ini. Pola dan model pendidikan Islam yang dikembangkan selama ini masih berkutat pada pemberian materi yang tidak aplikatif dan praktis. Bahkan sebagian besar model dan proses pendidikannya terkesan asal-asalan atau tidak professional. Selain itu, pendidikan Islam di Indonesia negara tercinta mulai tereduksi oleh nilai-nilai negative gerakan dan proyek modernisasi yang kadang-kadang atau secara nyata bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.
Pengantar ini mencoba untuk membErikan gambaran secara global tentang pendidikan Islam Indonesia saat ini sebagai landasan awal untuk meneropong moralitas bangsa di masa depan. Moralitas masa depan bangsa menjadi sangat penting untuk diteropong, karena didasarkan pada asumsi awal sebagian pakar yang berpendapat bahwa salah satu factor penyebab atau biang keladi terjadi dan berlangsungnya krisis multidimensional negara Indonesia adalah masalah moralitas bangsa yang sangat "amburadul" dan tidak "karu-karuan".
Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional: Kilasan Sejarah Singkat
Pendidikan Islam yang dalam hal ini dapat diwakili oleh pendidikan meunasah atau dayah, surau, dan pesantren diyakini sebagai pendidikan tertua di Indonesia. Pendidikan Pendidikan ketiga institusi di atas memiliki nama yang berbeda, akan tetapi memiliki pemahaman yang sama baiak secara fungsional, substansial, operasional, dan mekanikal. Secara fungsional trilogi sistem pendidikan tesrebut dijadikan sebagai wadah untuk menggembleng mental dan moral di samping wawasan kepada para pemuda dan anak-anak untuk dipersiapkan menjadi manusia yang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara. Secara substansial dapat dikatakan bahwa trilogi sistem pendidikan tersebut merupakan panggilan jiwa spiritual dan religius dari para tengku, buya, dan kyai yang tidak didasari oleh motif materiil, akan tetapi murni sebagai pengabdian kepada Allah. Secara operasioanal trilogi sistem penidikan tersebut muncul dan berkembang dari masyarakat, bukan sebagai kebijakan, proyek apalagi perintah dari para sultan, raja, atau penguasa. Secara mekanikal bisa dipahami dari hasil pelacakan histories bahwa trilogi sistem pendidikan di atas tumbuh secara alamiah dan memiliki anak-anak cabang yang dari satu induk mengembang ke berbagai lokasi akan tetapi masih ada iktan yang kuat secara emosional, intelektual, dan cultural dari induknya.
Sebelum masuknya penjajah Belanda triilogi sistem pendidikan pribumi tersebut berkembang dengan pesat sesuai dengan perkembangan agama Islam yang berlangsung secara damai, ramah, dan santun. Perkembangan tersebut pada dasarnya merupakan bukti bagi kesadaran masyarakat Indonesia akan sesuinya model pendidikan Islam dengan nurani masyarakat dan bangsa Indonesia saat itu. Kehidupan masyarakat terasa harmonis, selaras, dan tidak saling mendominasi. Hanya saja sejak masuknya bangsa penjajah baik Spanyol, Portugis, dan Belanda dengan sifat kerakusan akan kekayaan dan materi yang luar biasa menjadikan masyarakat Indonesia tercerai berai. Terdapat sebagian masyarakat pribumi yang masih teguh dengan pendirian dan ajaran yang diperoleh di dayah, surau, dan pesantren ada juga yang sudah mulai terbuai dengan bujuk rayu para penjajah jahat tersebut.
Sebagian manusia pribumi yang menerima bujukan dan rayuan penjajah di atas adalah manusia pribumi yang telah lupa dan memang secara sadar melupakan ajaran yang mereka peroleh di tempat pendidikannya. Mereka juga terbius dengan iming-iming kekayaan dari para penjajah yang sangat licik. Kelicikan dan kejahatan para penjajah memang tidak pernah diungkap oleh para sejarawan. Kelicikan dan kejahatan penjajah sudah tidak bias diterima manusia normal. Bujukan dan rayuan yang manis dari para penjajah diarahkan kepada manusia pribumi yang kelihatan secara moral, kepribadian, praktik keagamaan masih lemah dan rendah. Moralitas yang rendah, kepribadian yang lemah dan tingkat ketaatan keagamaan minim merupakan sasaran empuk bagi para penjajah.
Trilogi sistem pendidikan Islam di atas mulai tergerus bahkan memang sengaja dibatasi serta dimatikan oleh penjajah. Para penjajah memandang bahwa trilogi sistem pendidikan Islam tersebut pada dasarnya bukanlah lembaga pendidikan akan tetapi hanyalah lembaga agitasi dan provokasi untuk melawana penjajahan. Dengan asumsi yang demikian, maka menjadi sangat wajar ketika penjajah berusaha untuk mengkerdilkan atau bahkan mematikannya. Di saat yang bersamaan penjajah mendirikan sistem pendidikan alam negara penjajah. Di sini telah terjadi polarisasi lembaga pendidikan yang pada awalnya hanya mengenal pendidikan tradisional, maka pada masa penajajahan ini mulai muncul sistem pendidikan modern. Di sinilah cikal-bakal mulai munculnya istilah pendidikan tradisional dan pendidikan modern. Adanya fragmentasi ini kemudian juga merembet ke dikotomisasi ilmu pengetahuan yaikni ada ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu agama dipahami sebagai ilmu-ilmu yang diberikan secara tradisional oleh trilogi sistem pendidikan Islan sedangkan ilmu umum digunakan untuk menyebut ilmu-ilmu yang diberikan oleh lembaga pendidikan modern, dalam hal ini sekolah-sekolah yang didirikan para penjajah. Adanya persaingan yang tidak seimbang antara kaum penjajah dan penduduk asli, maka sebagian besar manusia Indonesia mulai mengalami perubahan dalam kehidupannya.
Mulai saat ini pulalah manusia Indonesia mengalami perubahan yang sangat signifikan baik dalam aspek ideologi, ekonomi, politik, maupun moralitas. Dalam aspek ideologi manusia pribumi mulai ada yang bergeser dari ideologi spiritualisme-religius ke ideologi materialisme-kapitalisme. Ideologi materialisme-kapitalisme adalah ideologi yang lebih mementingkan kekayaan materi dan kekayaan tersebut digunakan untuk dirinya sendiri. Kekayaan yang diperoleh dengan cara memeras dan menyiksa para fakir miskin adalah sebuah perilaku para pengkiut ideilogi ini. Dalam aspek ekonomi juga mulai bergeser dari hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya mengarah ke orientasi untuk menguasi selutuh kekayaan yang ada, sehingga kekayaan tesrebut hanya untuk dirinya sendiri. Hal ini memang merupoakan konskuensi logis dari pergeseran ideologi di atas. Karena secara teoritis dan praktis antara ideologi dan perilaku ekonomi akan memiliki kesejajaran dan kesinambungan. Dalam aspek politik kehidupan masyarakat bergeser dari sekedar menjadikannya sebagai sarana untuk menmgembangkan ajaran dan moralitas masyarakat bergeser menjadi sebagai sarana untuk menguasai masyarakat baik secara cultural maupun truktural. Inilah yang belakangan menyebabkan munculnya kekayaan structural dan kemiskinan structural. Yaitu kondisi dan keberlangsungan kehidupan masyarakat dimana yang kaya semakin kayak arena menguasai seluruh akses kekayaan, sedangkan yang miskin semakin miskin karena memang telah direbut seluruh aksesnya oleh orang yang kaya.
Dalam aspek moralitas pergeseran terjadi pada pandangan masyarakat tentang konsep moralitas itu sendiri. Moralitas di sini dipahami sebagai konsep tentang moral atau kebaikan atau baiknya sesuatu yang telah dikonstruksi oleh masyarakat. Ketika penajajh yang berkuasa di Indonesia, maka konsepsi tentang moral harus mengikuti konstruksi masyarakat penajajah. Sedangkjan sebagaimana dijelaskan di depan bahwa ideologi para penjajah adalah materialisme-kapitalis, maka sesuatu atau seseorang dianggap baik dan bermoral ketika sesuatu itu bermanfaat dan berguna secara materiil. Seseorang dikatakan kurang moralitas dan nilainya di hadapan masyarakat ketika seseorang itu tidak mampu memberikan manfaat dan kegunaan secara materiil. Orang yang dianggap berhasil dan bermoralk adalah sewseorang yang telah memiliki jabatan, kekayaan, dan harta l;ebih dari orang tuanya. Demikianlah pergesaran yang terjadi sebagai akibat terjadinya penjajahan di Indonesia.
Pada masa penjajahan Jepang --yang merupakan Saudara Tua (karena sama-sama di benu Asia dengan Indonesia)—pendidikan tradisional mulai mendapatkan angin kemajuan. Namun, semua itu tidak ada artinya karena memang penjajahan Belanda sebagai salah satu bangsa Barat atau lebih dikenal dengan bangsa Barat telah menancapkan ideologi, politk, ekonomi, budaya, dan moralitas kepada masyarakat pribumi, maka angina segar tersebut tidak mampu dimanfaatkan secara maksimal. Dengan demikian pendidikan tradisional menjadi sangat sulit untuk kemabli lagi ke posisi semual, yakni sebelum adanya penjajahan bangsa Barat.
Memasuki masa kemerdekaan pendidikan Islam masih terus berkutat dengan sistem pendidikan modern (peninggalan Belanda). Sistem pendidikan ini dipelopori oleh para tokoh pendidikan yang telah mengenyam sistem pendidikan Belanda atau Barat. Oleh karena itu, menjadi sangat masuk akal ketika sistem pendidikan nasional Indonesia berkiblat kepada sistem pendidikan Barat. Sistem pendidikan yang berkiblat pada sistem pendidikan Barat secara praktis dan teoritis berbeda dengan sistem pendidikan Islam tradisional. Dari sinilah kemudian terjadi pemisahan antara pendidikan tradisional yang dalam hal ini bias direpresentasikan oleh pendidikan Islam dan pendidikan modern yang dalam hal ini bias direpresentasikan oleh pendidikan nasional. Kedua asistem pendidikan ini merupakana sebuah hasil kompromi para funding father negeri ini.
Kompromi yang diambil para funding father negeri ini adalah bahwa pengabaian sistem pendidikan Islam tradisional akan sangat menyakitkan umat Islam. Mengingat jasa dan pengorbanan para ulama dan santri dari trilogi sistem pendidikan Islam tersebut di atas. Pertimbangan lainnya adalah agar umat Islam memiliki lembaga pendidkkan khusus, sehingga mayoritas penduduk Indonesia tidak mengalami kekecewaan yang luar biasa kepada pemerintah. Oleh karena itu, pada masa kemerdekaan tepatnya pada 3 Januari 1946 didirikanlah Departemen Agama yang mengurusi urusdan umat Islam. Meskipun pada dasarnya Departemen Agama ini mengurusi keperluan seluruh umat beragama di Indonesia, namun melihat latar belakang pendiriannya jelas untuk mengakomodasi kepentingan dan aspirasi umat Islam sebagai mayoritas penduduk negeri ini.
Dalam masalah pendidikan, kepentingan dan keinginan umat Islam juga ditampung di Departemen ini. Namun sangat disayangkan perhatian para pemimpin negeri ini kurang begitu besar terhadap pendidikan Islam di bawah naungan Depag ini. Hal ini terbukti dengan anggaran yang sangat berbeda dengan saudar mudanya yaitu pendidikan nasional. Perbedaan perhatian dengan wujud kesenjangan anggaran ini kemudian menyebabkan munculnya perbedaan kualitas pendidikan yang berbeda. Di satu sisi lembaga-lembaga pendidikan yang di bawah departemen pendidikan nasional mengalami perkembangan cukup pesat sementara pendidikan Islam yang berada di bawah payung Departemen Agama “terseok-seok” dalam mengikuti perkembangan zaman.
Sampai pada pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru pemisahan sistem dan pengelolaan pendidikan nasional dan pendidikan Islam masih dipertahankan. Artinya adalah bahwa pengelolaan pendidikan Islam masih mengalami nasib yang tidak bagus dibanding dengan saudara mudanya, pendidikan nasional. Walaupun secara substansial kedua sistem pendidikan tersebut oleh pemerintah Indonesia sendiri juga mengalami nasib yang sama buruknya, yaitu rendahnya anggaran pendidikan bila dibanding dengan negara-negara berkembang lain apalagi dibanding dengan negara-negara maju.
Demikianlah nasib perjalanan pendidikan di Indonesia yang sampai saat ini masih menduduki ranngking kurang begitu bagus dibanding negara-negara lainnya. Kurangnya perhatian pemerintah pusat dan menitikberatkan pembangunan pada sector ekonomi menyebabkan pembangunan jiwa dan mental bangsa menjadi termarjinalkan. Padahal pembangunan mental, jiwa, dan moral bangsa adalah sebuah keharusan dan keniscayaan sejarah yang tidak bisa ditawar-tawar, khususnya bagi bangsa Indonesia sebagaimana dijelaskan secara panjang lebar dalam buku ini. Pendidikan moral bukan pendidikan ekonomi yang paling penting bagi bangsa Indonesia. Pendidikan ekonomi tanpa didukung dengan pendidikan moral yang kuat hanya akan memunculkan pemimpin-pemimpin yang berpenyakit kronis.
Pendidikan Indonesia Kini: Materialisasi Pendidikan
Pendidikan Indonesia saat ini merupakan hasil dari kebijaksanaan politik pemerintah Indonesia selama ini. Mulai dari pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Pendidikan Indonesia masih mementingkan pendidikan yang bersifat dan berideologi materilisme-kapitalisme. Ideologi pendidikan yang demikian ini memnmag secara teoritis tidask nampak, akan tetapi secara praktis merupakan realitas yang tidak dapat dibantah lagi. Materialisasi atau proses menjadikan semua bernilai materi telah merunyak di segala sendi sistem pendidikan Indonesia, termasuk pendidikan Islam. Sendi-sendi yang dimasuki bukan hanya dalam materi pelajaran, pendidik, peserta didik, manajemen, lingkungan, akan tetapi juga tujuan pendidikan itu sendiri. Jika tujuan pendidikan telah mengarah ke hal-hal yang bersifat materi, maka apa yang diharapkan dari proses pendidikan tersebut.
Dalam masalah kurikulum pendidikan misalnya diarahkan kepada kurikulum yang memberikan bekal kepada peserta didik untuk mampu mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan pendapatan yang besar. Kurikulum tersebut dibuat sedemikian rupa dan untuk mengikutinya harus mengeluarkan uang sangat sangat besar. Jika dalam proses memperolehnya haru mengeluarkan dana yang besar, maka dapat dibayangkan setelah memperoleh pengetahuan tersebut. Peserta didik yang telah selesai akan menggunakan pengetahuan tersebut paling untuk mengembalikan modal dan tentu berupaya untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya. Karena memang teori modern mengatakan bahwa pendidian adalah investasi di masa depan. Investasi dalam dunia ekonomi dipahami sebagai modal yang akan dipetik keuntungannya di waktu yang akan datang. Sedangkan prinsip ekonomi yang diajarkan di sekolah menengah adalah keluarkan modal sedikit mungkin dan hasilkan keuntungan sebesar-besarnya. Dari sini dapat dipahami bahwa kurikulum pendidikan telah dijadikan atau telah diselwengkan tujuannya hany auntuk mendapatkan pekerjaan. Sedangkan untuk menjadikan manusia yang utuh bukan hanya dimarjinalkan, akan tetapi memang dimatikan karena prinsip ekonomi tidak mengenal nilai-nilai spiritual, moralitas, kebersamaan.
Dalam aspek pendidik misalnya banyak sekali praktek dan perilaku penididik yang menjual nilai untuk mendapatkan uang. Bahkan ada sebagian pendidik yang menjadikan kewenangannya untuk memberikan nilai kepada peserta didik demi mendapatkan pendapatan dari peserta didiknya sendiri. Modusnya adalah dengan memberikan nilai rendah pada program regular, kemudian akan diberikan nilai agak tinggi atau bahkan tinggi pada program khusus dimana peserta didik jug amembayar dengan biaya khusus. Praktik dan moud operansi yang demikian ini bukan hanya menjadi realitas, akan tetapoi sudah menjadi penyakit kronis dalam dunia pendidikan, bahkan pendidikan Islam sendiri. Praktik yang demikian akan menjadi hilang ketika nilai-nilai moralitas benar-benar terpancar dalam sistem pendidikan. Nilai-nilai moralitas yang diberikan kepada peserta didik selama ini hanyalah teori-teori yang tidak pernah dibuktikan dalam praktik kehidupan. Meskipun itu dalam praktik pendidikan itu sendiri. Praktik pelanggaran moralitas tinggi justru sudah diajarkan oleh para pendidik kepada peserta didik dengan berbagai praktik dan modus operandi dalam proses pengajaran dan ujian, salah satunya adalah modus di atas.
Aspek peserta didik merupakan korban dari sistem dan proses pendidikan yang ada. Jika sistem pendidikan nssional maupun pendidikan Islam telah mengalkami reduksi makna dari pendidikan menjadi sekedar penyampaian pengetahuan (transfer of knowledges), maka pada saat itulah peserta didik telahg diberi pelajaran yang sangat luar biasa pengaruhnya dalam kehidupannya kelak. Peserta didik yang sudah berpoengalaman, misalnya mahasiswa S1 atau S2 dan bahkan S3 yang telah memahmi praktik-praktik demikian ini dan tidak mau memperhjatikan nilai-nilai moralitas akan melakukan praktik-praktik asal bias lulus dan selesai. Bahkan ada yang lebih tragis lagi yaitu asal dapat gelar, sehingga muncul pasar gelar di Indonesia yang beberapa tahun sebelum ini sangat marak dijajakan baik lewat media massa maupun media elektronik. Jual beli nilai, jual beli gelar, dan jual beli karya ilmiah adalah satu hal yang menunjukkan betapa rendah mental dan moralitas para peserta didik. Fenomena di atas merupakan realitas yang terjadi dalam dunia pendidikan yang ideologinya telah mengarah kepada ideologi materiliasme-kapitalis.
Materialisasi aspek manajemen pendidikan dapaty dilihat pada praktik munculnya kebanggaan semua pihak baik pengelola, pendidik, peserta didik, dan wali akan megahnya gedung dan kampus dimana mereka berada dan ikut andil di dalamnya. Kemagahan gedung kampus dan seklolah menjadi tolok ukur majunya sebuah lembaga pendidikan. Jika orientasi kemegahan gedung kampus dan sekolah menjadi ukuran kemajuan sebuah pendidikan, maka dapat dibayangkan orientasi pendidikannya. Orientasi manajemen pendidikannya adalah pada kemegahan gedung secara fisikla, sementara kemegahan spsirtual dan moral;itasa termarjinalkan atau bahkan sama sekali ditiadakan. Semua pihak yang ada di dalamnya akan merasa bangga dan menganggap orang lain yang tidak berada di situ sebagai masyarakat pendidikan kelas rendah. Manajemen pendidikan yang hanya mengarah pada kemegahan gewdung kampus pada gilirannya akan ditundukkan atau dikalahkan oleh insitusi pendidikan lainnya yang memiliki modal yang luar biasa besarnya. Jadin pada dasarnya lembaga pendidikan atau dengan kata lain manajemen pendidikannya dimaksudkjan untuk berkompetisi. Dan kompetisi inilah yang menjadi darah dan energi bagi penyelenggaraan pendidikannya. Keberhasilan sebuah lembaga pendidikan hanya diukur dengan megahnya gedung, mahalnya SPP, banyaknya peminat, dan alumninya banyak yang menduduki jabatan tinggi. Inilah manajemen pendidikan di Indonesia saat ini.
Materialisasi pada aspek lingkungan pendidikan merupakan fenomena yang sangat jelas. Lingkungan pendidikan di sini dipahami sebagai masyarakat yang berada di sekitar pendidikan atau dengan kata lain adalah masyarakat Indonesia sendiri. Masyarakat Indonesia sejak memasuki era modernisasi telah mengalami pergeseran yang luar biasa. Pergeseran tersebut mencakup pergeseran orientasi kehidupan, pergeseran budaya, pergeseran gaya hidup, pergeseran pandangan hidup, pergeseran pertilaku politik, pergeseran perilaku ekonomi, dan pergeseran terhadap ajaran agama. Pergeseran-pergeseran tersebut jmuarany adalah disebabkan oleh adanya modernisasi yang terus "dibombardirkan" kepada masyarakat, baik melalui jalur pendidikan, jalur media massa, dan jalur birokrasi. Modernisasi pada intinya adalah upaya rasionalisasi seluruh aspek kehidupan masyarakat, dari yang pada mulanya kental akan nuansa religius, nuansa sakralitas, dan nuansa spiritual bahkan nuansa transendental menjadi tidak bernuansa sama sekali kecuali nuansa rasionalitas, nuansa obyektivitas, dan nuansa realitas-empiris. Massyarakat yang telah bergeser pandangan hidupnya menjadi sebagaimana dikemukakan di atas, maka menjadikan danmenganggap pendidikan sebasgai investasi dan ketika selesai akan mendapatkan keuntungan lebih besar adalah sangat wajar. Semu aini pada dasarnya adalha materialsasi lingkungan pendidikan di Indonesia, termasuk pendidikan Islam.
Materialisasi tujuan pendidikan merupakan landasan awal bagi proses materialisasi seluruh aspek di atas. Tujuan di manapun dia berada merupakan muara akhir dari semua proses yang ada sebelumnya, termasuk di sini adalah dslam proses pendidikan. Tujuan pendidikan yang dimaterialisasikan adalah upaya mencapai tujuan pendidikan nasioanl maupun pendidikan Islam dengan asumsi dapat diukur secara kuantitatif dan dapat diliuhat jhasilnya secara nyata. Tujuan-tujuan pendidikan yang telah mengalami materialisasi dapat dilihat pada tujuan para pendidik. Misalnya, berapa alumni yang telah menjadi dokter, berapa ayang telah menjadi pengacara, berapa yang telah menjadi pejabat tinggi, berapa alumni yang telag menjadi dewan. Dengan melihat jumlah alumni yang telah menduduki ajabatan apapun akan dapat dipredikisikan penghasilan mereka. Setelah diketahui pendapatan par alaumni, maka dapat diketahui pal keberjhasilan sebuah lemabag pendidikan. Sangat jarang atau bahkan tidak ada berapa alumnsi yang telah menjadi manusia bermoral, berapa alumni yang telah memnebriak kesadaran masyarakat akan arti pentingnya persaudaraan, berapa alumni yang telah mampu memberikan pelayanan gratis kepada masyarakat tanpa pamrih apapun, berapa alumni yang telah benar-benar melaksanakan tujuan pendidkannya yaitu menjadi manusia seutuhnya. Manusia seutuhnya di sini berarti secara jamsani dan ruhani, secara material dan spiritual, dan secara fisik dan mental, serta secara intelektual dan moral telah terjadi keseimbangan yang nyata. Jarang sekali atau bahkan tidak ada sensus keberhasilan pendidikan yang mengukur kesuskesannya dengan ranah yang demikian ini.
Pendidikan Moral atau Akhlak: Membangun Landasan Budaya
Pendidikan Islam pada intinya adalah sebagai wahana pembentukan manusia yang bermoralitas tinggi. Di dalam ajaran Islam moral atau akhlak tidak dapat dipisahkan dari keimanan. Keimanan merupakan pengakuan hati. Akhlak adalah pantulan iman yang berupa perilaku, ucapan, dan sikap atau dengan kata lain akhlak adalah amal saleh. Iman adalah maknawi (abstrak) sedangkan akhlak adalah bukti keimanan dalam bentuk perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran dan karena Allah semata.
Berkaitan dengan pernyataan di atas bahwa akhlak tidak akan terpisah dari keimanan, dalam al-Qur'an juga sering dijelaskan bahwa setelah ada pernyataan “orang-orang yang beriman,” maka langsung diikuti oleh “beramal saleh.” Dengan kata lain amal saleh sebagai manifestasi dari akhlak merupakan perwujudan dari keimanan seseorang. Pemahaman moralitas dalam bahasa aslinya dikenal dengan dua istilah yaitu al-akhlaq al-karimah dan al-akhlaq al-mahmudah. Keduanya memiliki pemahaman yang sama yaitu akhlak yang terpuji dan mulia, semua perilaku baik, terpuji, dan mulia yang diridlai Allah.
Dalam pendidikan Islam proses penghayatan dengan sebenarnya terhadap moralitas menjadi tolok ukur keberhasilan. Memahami moralitas belum tentu secara otomatis menghayatinya. Pemahaman terhadap moralitas berarti bahwa segala sesuatu tentang moralitas sudah jelas baik dan pentingnya untuk dimiliki setiap peserta didik. Namun pemahaman tersebut barulah terjadi dalam pikiran, belum tentu meresap ke dalam hati dan perasaan. Berapa banyak hal yang baik diketahui kebaikan dan manfaatnya bagi kehidupan akan tetapi semua orang condong untuk tidak menjadikannya sebagai pegangan atau pedoman dalam hidupnya. Sebaliknya semua orang tahu dan menyadari bahwa sifat buruk itu tidak baik akan tetapi tidak semua orang mau menghindari atau meninggalkannya. Masalahnya terletak pada penghayatan terhadap hal-hal yang baik tersebut.
Menghayati sesuatu berarti menjadikannya bagian dari kepribadiannya, menyatu, dan tidak terpisahkan lagi. Jadi menghayati moralitas berarti semua bentuk moralitas yang telah diketahui itu masuk menjadi bagian dari pribadi dan tidak terpisahkan lagi. Akibat selanjutnya adalah pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap akan dipengaruhi oleh sesuatu yang telah dihayati itu.
Masalah penghayatan bukanlah sederhana terutama bagi orang dewasa di mana pertumbuhan kepribadiannya telah selesai pada usia 20 atau 21 tahun. Penghayatan adalah proses kejiwaan atau proses pendidikan. Dikatakan proses kejiwaan artinya dalam mengubah kepribadian yang telah terbentuk menjadi kepribadian baru. Proses tersebut dalam ilmu jiwa dinamakan proses mengulang kembali pembentukan kepribadian (reconstruction of personality).
Proses kejiwaan yang demikian itu tidak mudah, harus dilakukan dengan usaha dan secara sadar. Di antaranya dengan pemahaman bahwa unsur-unsur baru itu ternyata dan terbukti baik serta diperlukan oleh yang bersangkutan. Perlu pula diketahui bahwa kepribadian yang telah terbentuk itu tercakup di dalamnya semua pengalaman akhir masa remaja kira-kira pada usia 20 tahun. Semua pengalaman tersebut ada yang hilang atau terlupa. Oleh karena itu, unsur-unsur baru yang akan dimasukkan ke dalam pribadi yang telah terbentuk harus cukup banyak agar dapat menetralisir yang sudah ada, sehingga berubah menjadi kepribadian bentuk baru. Pengalaman yang berkaitan dengan unsur baru itu harus banyak pula, agar perubahan tersebut mantap dan dapat mengubah tindakan yang terjadi akibat perubahan pribadi tersebut.
Dalam rangka penghayatan moralitas yang sudah dipahami memerlukan adanya pengalaman-penagalaman lewat penerapan dalam berbagai keadaan dan kesempatan. Pengalaman itu akan membawa kepuasan dan kegembiraan yang berhasil dicapai dalam pergaulan dari reaksi orang yang berhubungan dengannya. Semakin banyak pengalaman yang menyenangkan tersebut dan semakin diterimanya unsur baru (moralitas) tersebut, maka semakin banyak pula dorongan untuk meningkatkan pengalaman yang telah berhasil itu. Di samping itu juga akan muncul dorongan untuk mengamalkan dan menerapkan berbagai macam moralitas lainnya. Akhirnya terjadilah penyatuan (internalisasi) moralitas ke dalam pribadi yang tidak dapat dipisahkan lagi.
Moralitas tersebut perlu penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan moralitas yang tinggi bagi pndidik amat penting sebab penampilan, perkataan, akhlak, dan segala apa yang terdapat padanya dilihat, didengar, dan diketahui oleh peserta didik. Hal ini semua akan mereka serap dan tiru, dan lebih jauh akan mempengaruhi pembentukan dan pembinaan akhlak mereka. Oleh karena itu, seyogyanya setiap pendidik menyadari bahwa peranan dan pengaruhnya terhadap anak didik amat penting. Jika pengaruh yang terjadi adalah yang tidak baik, maka kerusakan yang terjadi tidak hanya pada anak itu saja, melainkan mempengaruhi anak cucu dan keturunannya serta anak didiknya bila kelak ia menjadi pendidik.
Setelah pemahaman dan penghayatan akhlak mulia, maka selanjutnya perlu usaha yang sungguh-sungguh untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan perubahan kepribadian dan masuknya moralitas ke dalam konstruksi kepribadian tidak akan terjadi secara langsung pada perilaku dan sikap. Apabila seseorang telah memiliki kebiasaan tertentu dalam menghadapi sesuatu, maka perilaku atau tindakan yang telah menjadi kebiasaan itu segera terjadi ketika seseorang menghadapi hal yang sama. Semua proses ini yang paling strategis adalah memalui pendidikan, dalam konteks Indonesia adalah pendidikan nasional dan pendidikan Islam.
Pada dasarnya kebiasaan itu memudahkan orang hidup. Perkataan, perbuatan, gerakan, tangkah laku yang telah menjadi kebiasaan seringkali terjadi tanpa pikiran, seolah-olah semua itu terjadi secara otomatis. Karena itulah, maka moralitas yang belum menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari perlu diingat dan diusahakan penerapannya setiap saat agar menjadi kebiasaan. Menghentikan kebiasaan lama dan menggantinya dengan kebiasaan baru memerlukan pengorbanan dan usaha karena menumbuhkan kebiasaan baru itu membutuhkan pemikiran, kesadaran, dan kesengajaan. Di lain pihak kebiasaan lama sering terjadi tanpa proses pengolahan dalam pikiran dan mudah menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, kemampuan menerapkan moralitas perlu dibina dan diusahakan dengan sungguh-sungguh.
Demikian pula halnya dengan berbagai kelakuan yang bertentangan dengan moralitas baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun berbangsa. Untuk membantu menghentikannya dalam Islam secara tegas ada hukum dan ketentuan yang melarang perbuatan yang tercela (madzmumah) dengan hukum haram. Orang tidak dengan sendirinya berhenti dari perbuatan salah atau dosa yang telah terbiasa dilakukannya setelah memahami dan menghayati bahwa perbuatan tersebut dilarang Allah dan diancam dengan siksaan bagi yang melakukannya. Dia perlu berusaha menghentikannya dengan perjuangan melawan kebiasaan buruk itu dan memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahan tersebut serta berdoa kepada Allah agar diberi-Nya kekuatan untuk melawan dorongan yang buruk tersebut.
Upaya penerapan moralitas dalam kehidupan sehari-hari seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan nasional dan pendidikan Islam baik dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dalam keluarga metode yang dapat digunakan adalah peneladanan, sebab segala aktivitas orang tua akan menjadi panutan bagi putera-puterinya. Ketika di sekolah, guru di samping menyampaikan pelajaran dengan metode ceramah atau tanya jawab, juga perlu memberikan teladan yang baik. Sedangkan di dalam masyarakat pendidikan akhlak ini dapat dilakukan dengan metode nasehat dan peneladanan, terutama dari para tokoh dan pemimpin masyarakat.
Pendidikan moral dan akhlak menduduki posisi yang sangat penting dalam percaturan pendidikan di Indonesia, bahkan bukan hanya dalam aspek pendidikan saja, melainkan juga bidan g kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, dan ideologi. Arti penting dari pendidikan moral atau akhlak dapat dilihat dari hasil pendidiikanm yang sampai saat ini berlkansgung. Banyka pemimpion negara yang lupa akan penderitaan takyat, hanya memewntingkan diri dan kelompoknya, menindas kaum melarat dan kalah serta tunduk kepada pemilik modal besar (konglomerat., Bangsa Indeonsai akan terus mengalami kemerosotan ekonomi, politik, dan budaya, ketika pendidikan moral dan akhlak sudah dijadikan sebagai landasan awal pendidikan nasional. Namun, semua ini tergantung pada political will para pemimpin negeri ini (Presiden dan DPR atau ekskutif dan legislatrif))
Pendidikan Terpadu: Sebuah Tawaran
Pendidikan di Indonesia dari dulu sampai saat ini masih terkesan atau jelas-jelas berjalan secara parsial dan terpisah-pisah tanpa adanya kordinasi yang jelas dari pemerintah. Parsialisasi ini dapat dilihat dari banyaknya lembaga pendidikan yang berlindung atau didirikan oleh beberapa departemen, misalnya Departemen Pertahanan memiliki Akabri, Akpol dan sebagainya; Departemen Agama memiliki lembaga pendidikan agama, Departemen Keuangan memiliki lembaga pendidikan STAN, Departemen Dalam Negeri memiliki lembaga pendidikan APMD dan sebagainya. Dasar pemikiran pendirian tersebut di satu sisi adalah untuk pemberdayaan sumber daya manusia masing-masing departemen, namun ada analisis lain yaitu sebagai lahan untuk mendapat anggaran lebih besar. Karena lembaga-lembaga pendidikan di masing-masing departemen merupakan sumber proposal proyek yang sangat strategis.
Implikasi dari parsialisasi dan terkesan miskordinasi sistem pendidikan nasional tersebut menyebabkan munculnya bibit-bibit egoisme masing-masing departemen. Kordinasi yang seharusnya menjadi salah satu strategi yang sangat penting menjadi terpental dengan parsialisasi tersebut. Oleh karena itu, barangkali layak dikemukakan di sini dilontarkan adanya ide Pendidikan Nasional Terpadu. Modus operandinya adalah dihilangkannya masing-masing lembaga pendidikan di departemen yang berbeda kemudian dijadikan menjadi satu payung. Namun sebelumnya harus dilakukan kesepakatan bersama secara mantap bahwa payung tersebut harus tetap mengakomodasi kepentingan dan aspirasi masing-masing departemen. Konsep pendidikan yang demikian mungkin bisa disebut pendidikan terpadu.
Lontaran ide tentang pendidikan nasional terpadu ini didasarkan pada beberapa pemikiran:
- Pendidikan nasional selama ini tidak pernah bersahabat dengan dunia industri. Dunia industri seakan-akan berada di luar dunia pendidikan nasional. Padahal dunia industri dan pendidikan adalah dua pihak yang saling membutuhkan. Industri di sini mencakup seluruh jenis industri misalnya industri pertanian, industri kehutanan, industri kesehatan, industri olah raga, industri pendidikan, industri kelautan, industri komunikasi, industri transportasi, industri informasi, industri militer dan intelijen, industri budaya, industri arsitektur, industri keuangan, industri entertainment, industri hukum, industri media massa dan sebagainya. Simbiosis mutalisme di atas merupakan satu-satunya sarana yang paling strategis bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional. Dengan adanya simbiosis mutualisme inilah yang kemudian memunculkkan konsep pendidikan nasional terpadu. Artinya segala kebutuhan kehidupan manusia Indonesia diupayakan dipenuhi dengan membuat penelitian yang kemudian memproduksinya. Semua ini dilakukan oleh putera-puteri Indonesia betapapun buruknya kualitas bila hal itu adalah produk dalam negeri harus dihormati dan harus dikembangkan oleh pendidikan yang ada dengan penelitian yang intensif. Atau dengan kata lain bahwa hasil penelitian yang dilakukan dan ditemukan oleh ilmuwan Indonesia harus direspons dan didukung sepenuhnya oleh dunia industri. Bukan hanya menerima jadi dari luar negeri, karena betatapun bagusnya produk luar negeri lambat laun akan menyengsarakan dan memiskinkan masyarakat Indonesia sendiri.
- Pendidikan nasional selama ini tidak memiliki visi yang jelas tentang pemberdayaan manusia Indonesia sendiri. Memang hal ini tergantrung pada sistem politik dan kebijakan pendidikan pemerintah, selama pemerintah lebih menitikberatkan pada pemanfaatan dan pengagung-agungan produki impor maka produksi dalam negeri akan terus mengalami kemerosotan atau bahkan mati sama sekali. Politkk ekonomi pemerintah selama ini tidak sejalan dengan politik pendidikannya, politkk pendidikannya juga tidak sesuai dengan politik budayanya, demkkian juga politik budayanya tidak sesuai dengan politik ideologinya. Atau dengan kata lain antara politik yang satu dengan politik yang laan tidak ada yang sejalan, seirama, dan senafas. Misalnya dari segi ideologi, nasionalisme adalah ideologi yang paling dominan, namun ketika berada dalam politik ekonomi dan politik militer berbeda karena lebih mementingkan kepentingan luar negerei dalam arti menggunakan teori-teoiri Barat dan persenjataan impor. Ini jelas menunjukkan tidak adanya keselarasan dan kesesusaian antara politik ideololgi dan poliitk ekonomi maupun militer. Demikian juga yang terjadi dengan politik pendidikan dan poltiki lainnya tidak ada yang selaras. Untuk menyelaraskan perlu kiranya digagas politik pendidikan nasional terpadu yang mencakup dan sejalan dengan politik ideologi, politik pemerintahan, politik budaya, politik ekonomi, politik hukum, dan politik-politik lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk memperjelas visi pendidikan nasioanl terpadu sebagai upaya untuk keluar dari keterpurtukan multidimensionala bangsa Indonesia ini.
- Pendidikan nasional pada dasarnya adalah otak dari sebuah badan besar yakni negara Indonesia. Jika otak tersebut dipisah-pisah baik energi, potensi maupun kekuatannya, maka kinerja otak tersebut tidak akan bisa maksimal. Demikian juga dengan pendidikan nasional bila kekuatan, energi, dan potensinya dipisah-pisahkan ke masing-masing departemen, maka performance-nya juga tidak akan bisa mencapai maksimal. Sebagai kekuatan utama dalam pendidikan nasional, maka pendidikan nasional terpadu ini mencakup seluruh disiplin keilmuan yang berkembang saat ini. Kinerjanya dapat ditentukan dengan target jangk apendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Namun semua itu tidak boleh melupakan aspek moralitas yang menjadi kendali utama sistem pendidikan nasional terpadu ini. Sebab tanp adanya kendali moralitas yang tinggi, maka pemusatan kekuatan, potensi dan energi akan menjadi sasarn empuk bagi para "tikus-tikus intelektual" yang tidak mengenal tempat dan waktu itu. Dengan demikian, pemanfaatan departemen pendidikan sebagai muara satu-satunya seluruh proses pendidikan nasional menjadi mudah dimonitor. Tentunya semua ini didasarkan pada legislasi dan hukum yang jelasa dan mantap tidak interpretable dan multi tafsir.
- Pendidikan nasional terpadu merupakan ejawantah dari kepercayaan manusia Indonesia kepada para pengelola pendidikan. Kepercayaan tersebut merupkan modal yang sangat luar biasa ampuhnya bagi pencurahan perhatian kemajuan dan peningkatan kualitas pendidikan nasional. Kepercayaan yang saat ini menguap dari masing-masing pihak merupakan akibat secara tidak langsung dari terpecahnya konsentrasi pengelola pendidikan nasional. Di satu sisi departemen ini mengurusi dan bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan nasional, namun di sisi lain tidak mampu mengakses dan memberikan regulasi yang tegas terhadap lembaga yang ada di bawah naungannya. Kepercayaan tersebut bisa dimunculkan kembali jika pemerintah memilki political will yang kuat dan konsisten terhadap kualitas pendidikan nasional, karena pada dasarnya pemerintah Indonesia hanya ada satu dan berada di bawah kekuasaan satu presiden dan satu wakil presiden dengan bekerja sama dengan DPR. Apalagi menghadapi sistem pemerintahan Indonesai hasil pemilihan umum 2004 ini yang lebih menganut sistem presidensil, maka peemrintah mnemiliki kekuasaan yang luar biasa dalam menentukan hitam putih, merah biru, hijau kuningnya pendidikan nasional.
- Pendidikan terpadu merupakan jawaban intelektual dari persoalan pendidikan yang semakin lama semakin tidak jelas visi dan arahnya. Dengan konsep pendidikan nasional terpadu visi pendidikan nasional adalah jelas pemberdayaan manusia Indonesia dalam seluruh aspek kehidupan, seluruh sector kehidupan, seluruh disiplin keilmuan, seluruh lapisan masyarakat, seluruh strata sosial, seluruh kerangka ajaran agama, seluruh etnis bangsa, seluruh budaya bangsa, seluruh tradisi local masyarakat, dan seluruh harapana manusia Indonesia. Pendidikan nasional terpadu artinya memberikan kesempatan kepada masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mengembangkan minat, bakat, potensi, kreativitas, dan keterampilannya yang kemudian didukung sepenuhnya dan diakui sepenuhnya oleh dunia industri serta pemerintah dengan aturan hukum yang jelas dan tegas. Pemberdayaan lewat pendidikan tentunya perlu dilakukan perombakan sistem pendidikan secara menyeluruh dimana tindakan-tindakan dan praktik-praktik penyelewengan sebagaiman dikemukakan di sub sebelumnya telah terbabat habis dalam proses pendidikan nasional. Kualitas alumni bukan hanya dinilai dari keberhasilan menduduki jabatan akan tetapi dinilai sejauh mana alumni tersebut telah memberikan sumbangan bagi pemberdayaan masyarakat. Inilah yang barangkali menjadi idaman manusia Indonesia seutuhnya dan para funding father negara Indonesia.
Praktik pendidikan nasional terpadu dapat digambarkan secara ringkas sebagai berikut:
- Adanya penyatuan payung pendidikan nasioanl dalam satu departemen. Departemen ini benar-benar bertanggung jawab secara nasional baik dalam hal kualitas, standar minimal lulusan, dan standar kesuksesan seorang alumni. Sebagai payung pendidikan secara nasional berarti dia memiliki kewenangan dalam menentukan berbagai komponen pendidikan. Departemen ini memiliki jaringan yang sangat kuat dengan berbagai departemen. Jaringan tersebut didasarkan pada hubungan saling mengisi dan bertanggung jawab. Artinya bahwa departemen pendidikan nasional terpadu ini harus memiliki ikatan structural, fungsional, emosional, dan intelektyal dengan departemen lain. Misalnya dengan Departemen Pertahanan, maka departemen pendidikan nasional terpadu ini bekerja sama secara intensif dalam hal penyelenggaraan pendidikan, penelitian dan pengembangan teknologi persenjataan militer. Kerja sama bentuk ini dimaksudkan untuk mnegurangi ketergantungan tekonologi militer kepada lura negeri. Penelitian yang intensif dengan dukungan dana yang cukup serta langsung dipraktikkan dalam departemen yang bersangkutan merupakan bentuk kerja sama yang saling menguntungkan dan memberdayakan. Departemen pendidikan nasioanl yang terpadu dalam penelitian persenjataan tersebut bukan hanya berkiatan dengan persenjataan dengan teknologi tingkat menengah, akan tetaoi jga teknologi tingkat tinggi yang tentunya memerlukan para ahli militer, arsitektur, nuklir, fisika, elektro dan keahlian lain yang mendukung pengembangan persenjataan canggih. Demikian juga kerja sama dengan departemen lain misalnya departemen pertanian, keuangan, kesehatan dan sebagainya. Dengan demikian, departemen pendidikan nasional terpadu ini bukan berarti berada di atas departemen lainnya, akan tetapi merupakan satu-satunya departemen yang memiliki otoritas di bidang pendidikan, penelitian, dan pengembangan sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat Indonesia seluruhnya.
- Pendidikan nasional terpadu secara politik merupakan strategi nasional pemrintah yang sedang berkuasa dalam rangka meningkatkan kualitas manusia Indonesia untuk melepaskan diri dari ketergantungan dalam bentuk apapun dari negara lain. Berdiri di atas kekuatan, kemampuan, kekayaan, sumber daya alam, dan keterampilan sendiri adalah visi politik pendidikan nasional terpadu. Dengan visi ini dimungkinkan adanya kebanggaan bagi para pengelola pendidikan karena benar-benar diperhatikanb oleh dunia industri lainnya. Politik pembangunan infrastruktur, suprastruktur, dan superstruktur harus memberdayakan seluurh lapisan masyarakat baik secara sosial, politik, ekonomi, budaya, maupun ideologi melalui pendidikan. Dengan menjadikan pendidikan nasional terpadu sebagai strategi nasional pemerintah, maka sebagai konsekuensi logis, konsekuensi, administrative, konsekuensi responsibiltas, dan konsekuensi politik pemerintah harus menyediakan dana naggrana sesuai dengan tuntutan konstitusi hadil amandemen yang mengamanatkan 25 persen dari total APBN. Komitmen pengucuran dana sedemikian besar tentunya dibarengi dengan ketatnya nilai moralitas bangsa sedemikian rupa sehingga para poengelola tidak lupa diri dengan bergelimangnya dana anggaran poendidikan nasioanl terpadu. Hal ini harus mulai dirintis dari proses pendidikan tingkat dasar, menengah, dan pendidikan tinggi. Moralitas bangsa adalah satu-satunya tolok ukur keberhassilan peningkatan kualitas pendidikan nasional terpadu. Karena dengan moralitas tinggi, maka kemungkinan bocornya anggaran dana akan dapat diminimalisir. Harapan ini bukan merupakan ilusi dan obsesi intelektual dan bersifat teoritik belaka, akan tetapi bila semua pihak memiliki komitmen bahwa siapa yang salah harus dipecat dan siapa yang jujur harus terus didukung, maka moralitas bangsa akan menjadi baik dan itu harus dimulai dari sekarang dan melalui jalur politik pendidikan nasional terpadu.
- Politik pendidikan dalam rangka pemberdayaan seluruh masyarakat Indonesia dan penanaman moralitas merupakan sasaran dan tujuan utama pendidikan nasional terpadu. Moralitas bangsa merupakan landasan spiritual yang tidak mampu dibangun dalam waktu singkat. Penanaman moralitas bangsa harus dipupuk dan tidak pernah lengah sebentarpun dalam proses pendidikan. Oleh karena itu, pelakasanaan proses pendidikandari sejak tingkat dasar, menengah sampai perguruan tinggi harus senantiasa dikawal moralitas peserta didik. Peserta didik yang secara moral tidak lolos dan memiliki standar moral rendah tidak berhak mengenyam pendidikan lebih tinggi. Karena semua itu akan sangat merugikan masyarakat lainnya. Di saat yang sama pemberdayaan seluruh potensi, minat, bakat, kreativitas, dan keterampilan baik di bidang teknologi, budaya, tradisi, seni, intelektual, sastra dan sebagaianya haru smendapatkan prioritas utama dalam pendidikan. Sebagaimana diungkap dio atas semua itu mendapat duiklunganh penuh dari politik pemerintah yang sedang berkuasa dan dunia industri yang terkait. Pemerintah terus mengawal kerja sama dan jaringan kerja antara lembaga pendidikan dengan dunia industri sebagai langkah untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap negara lain. Sebagaimana juga diungkap di atas industri di sini mencakup industri dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat dan bangsa.
Barangkali inilah konsep pendidikan nasional terpadu yang mungkin masih sangat sederhana dan kurang memadai. Harap dapat dimaklumi karena merupakan gagasan awal sebagai upaya untuk memberdayakan seluruh masyarakat. Terma seluruh masayarakat menjadi sangat penting dalam konteks pendidikan nasional terpadu karena model pendidikan yang sedang berlangung sanpai saat ini ternyata hanya memberdayakan sebagian kecil anggota masyarakat, khususnya yang memilikii kesempatan dan kemampuan untuk mengakses ke pusat kekuasaan. Bagi yang tidakl memiliki akses sama sekali tidak memiliki kesermpatan untuk menikmati keberhasilan pembagunan pendidikan nasional yang visi politknya tidak jelas.
Ikhtitam
Dari beberapa tulisan di atas dapat dipahami di sini bahwa pendidikan Islam merupakan salah satu kekuatan pendidikan nasional. Pendidikan Islam sebagai kelanjutan dari sistem pendidikan tradisional ternyata mendapat perlakuan yang tidak sama dengan pendidikan nasional. Untuk itu layak kiranya diapresiasi adanya gagasan tentang sistem pendidikan nasional terpadu yang bervisi memberdayakan seluruh lapisan masyarakat dengan politik pendidikan nasional yang bertujuan melepaskan diri dari ketergantungan terhadap negara lain. Dalam konsep pendidikan nasional terpadu ini anggaran dan moralitas merupakan pemegang peran utama dalam kesuksesannya. Anggaran besar tanpa moralitas akan menmunculkan "tikus-tikus intelektual" yang sangat rakus. Pembangunan moralitas harus terus dilaksanakan dari sejak pendidikan dasar, menengah sampai perguruan tinggi, bahkan sampai ketika seseorang telah menduduki sebuah jabatan strategis. Semua ini sebagai upaya untuk meneropong masa depan moralitas bangsa.
Wa Allah A'lam bi al-Shawab

Categories:

Leave a Reply

sponsor

    Blogger news

    Blogroll

    About