Oleh : Janpatar Simamora, SH 
               Akhir-akhir ini, gagasan dan semangat untuk mengamendemen kelima kalinya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 terus bergulir dengan menfokuskan penguatan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) agar sistem bikameral di legislatif menjadi jelas. DPR dan DPD harus memiliki peran yang sama-sama kuat dan seimbang, sehingga tercipta peran serta yang merata diantara kedua lembaga yang merupakan wakil rakyat di pemerintah pusat. Gagasan tersebut terus bergulir dan banyak menuai respons positif dari sejumlah kalangan.

Jika dicermati secara lebih mendalam, faktor utama yang menjadi pemicu mencuatnya gagasan tersebut adalah kekecewaan masyarakat terhadap praktik bernegara di Indonesia pasca pemberlakuan dan penerapan hasil amendemen UUD 1945 ke dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Selain itu, persoalan mengenai belum efektifnya peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD), kondisi ketatanegaraan kita saat ini cenderung menimbulkan ketidakharmonisan hubungan antarlembaga negara. Memang harus kita diakui, bahwa hasil amendemen UUD 1945 (1999-2002) telah membawa berbagai perubahan yang cukup signifikan bagi sistem ketatanegaraan yang secara langsung mempengaruhi struktur dan mekanisme struktural organ-organ negara Republik Indonesia.
Berbagai perubahan tersebut di antaranya penegasan prinsip kedaulatan rakyat dan negara hukum, perubahan sistem hubungan pusat-daerah dan munculnya lembaga-lembaga negara baru seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Penasihat Presiden (DPP), Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY). Namun di sisi lain, hasil amendemen UUD 1945 masih memiliki sejumlah kelemahan yang bisa memunculkan masalah-masalah baru dalam ketatanegaraan di Indonesia.
Bahkan selama ini, UUD 1945 terkesan hanya dipakai sebagai aturan dasar yang bersifat nominal dan semantik dalam praktik ketatanegaraan. Konstitusi tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Paham konstitusionalisme yang menjamin, bahwa kekuasaan harus bersumber dan dibatasi oleh konstitusi, ternyata juga disalahgunakan untuk kepentingan penguasa. UUD 1945 memang memberikan keuntungan politik yang sangat besar kepada Presiden. Kekuasaan dan tanggung jawab dalam menjalankan pemerintahan negara memang dipusatkan di tangan Presiden. Selain itu, masa jabatan yang digenggam Presiden Soekarno selama 20 tahun (1945-1966) dan Presiden Soeharto selama lebih dari 30 tahun, (1967-1998) dimungkinkan, karena memang UUD 1945 tidak memberikan rumusan yang pasti mengenai batasan maksimal masa jabatan Presiden.
Selain itu, lemahnya pengawasan DPR terhadap Presiden telah mengakibatkan pemerintahan Soeharto menjadi sangat hegemonistik dan totaliter. Hal ini dapat terjadi, karena sebagian besar anggota legislatif (DPR) ditentukan dan diangkat oleh Presiden. Mahkamah Agung juga tidak melaksanakan tugas konstitusionalnya secara optimal, karena semua Hakim Agung diangkat oleh Presiden.

Kelemahan
Sementara dilain pihak, ada juga kalangan yang mempermasalahkan keabsahan UUD 1945. mereka menganggap bahwa UUD 1945 tidak sah karena tidak dimasukkan dalam lembaran negara sebagaimana seharusnya mekanisme pemberlakuan dan keabsahan sebuah produk hukum yang selalu harus didaftarkan dalam lembaran negara.
Memang, tidak sedikit juga kalangan yang menganggap bahwa gagasan amandemen UUD 1945 yang kelima ini adalah merupakan suatu gagasan yang konyol dan hanya akan menarik ulur sejarah ke masa lampau. Pihak ini menganggap bahwa gagasan yang disuarakan oleh para tokoh-tokoh yang pernah menduduki jabatan strategis di negeri ini tidak lebih dari pada wacana politik dan ingin memperkeruh suasana bangsa Indonesia yang sedang digoncang oleh berbagai problema saat ini.
Sementara bila dikaji lebih jauh, dalam UUD hasil amandemen yang pertama, setidaknya terdapat tiga kelemahan yang dimiliki oleh UUD 1945 yaitu pertama, rumusan UUD 1945 hasil amendemen memiliki kelemahan dari segi teknik tata bahasa dan teknik penyusunan UU (legal drafting). Ditinjau dari segi tata bahasa, UUD 1945 hasil amendemen memiliki sejumlah kelemahan yang dapat menimbulkan penafsiran yang multitafsir (multiinterpretation) contohnya, rumusan Pasal 7A yang mengatur mengenai alasan impeachment terhadap Presiden. Sedangkan dari segi teknik legal drafting, penempatan dan penambahan sejumlah pasal dalam UUD 1945 hasil amendemen sulit untuk dimengerti dan dipahami oleh semua lapisan masyarakat.
Hal ini tercermin dari muncul sejumlah pasal yang tidak lazim. Misalnya, untuk Pasal 22, ada Pasal 22, Pasal 22A, dan Pasal 22B. Contoh pasal-pasal tersebut hanya dapat dimengerti dan dipahami oleh kalangan terbatas, terutama oleh kalangan legislatif dan sekelompok kecil masyarakat yang mempunyai pengetahuan tentang legal drafting. Kedua, ketidakjelasan konsep lembaga perwakilan yang dianut oleh UUD 1945 hasil amendemen. Perlu diketahui, hingga saat ini masih terjadi silang pendapat di antara para ahli hukum tata negara mengenai konsep lembaga perwakilan yang dianut oleh UUD 1945 hasil amendemen. Ada yang mengatakan sistem satu kamar (unicameral system), sistem dua kamar (bicameral system), bahkan ada juga yang menyatakan campuran dari dua sistem tersebut (multicameral). Selain itu, sistem perwakilan bikameral yang digariskan dalam amendemen ketiga UUD 1945 bukan sistem bikameral murni yang menjamin adanya keseimbangan atau checks and balances antara kedua kamar di parlemen. Ketiga, konsep pendistribusian kekuasaan (distribution of power) lembaga negara yang dianut oleh UUD 1945 hasil amendemen tidak proporsional dan tidak sesuai dengan prinsip check and balances.
Aturan-aturan konstitusional yang ada itu tidak merumuskan secara jelas prinsip-prinsip “trias politica” yang menegaskan adanya pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif secara proporsional. Maka tidak ada mekanisme checks and balance maupun balance of power di dalam politik ketatanegaraan. Eksekutif mendapat hak-hak istimewa, dan dengan kekuasaan Presiden yang begitu besar dan terpusat itu, ia bisa memonopoli interpretasi (hegemony of meaning) atau mendominasi seluruh wacana kenegaraan, terutama dalam bidang hukum, politik, ekonomi dan keamanan.

Membawa Perubahan
Kita tidak menyangkal bahwa UUD 1945 juga telah banyak membawa angin perubahan dalam sistem ketatanegaraan menuju demokrasi yang lebih ideal. Hasil amendemen 1 sampai dengan 4 UUD 1945 telah mengembalikan kehidupan demokrasi konstitusional. Presiden dan Wapres harus WNI (Pasal 6). Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden sudah dibatasi, paling lama 10 tahun (Pasal 7). Kedaulatan rakyat tidak lagi dipegang sepenuhnya (dipasang) oleh MPR, tetapi dijalankan sesuai dengan UUD (mekanisme konstitusional). Indonesia sudah menjadi negara hukum (Pasal 1 ayat (31) dan negara hukum demokrasi (Pasal 28I ayat (5)) dan sudah terlindungi HAM sesuai dengan Pasal 28, 28A sampai dengan 28J UUD 1945.
Singkatnya UUD hasil amendemen 1 sampai dengan 4 dengan segala kelemahannya, telah menjadi sebuah konstitusi menuju ke arah yang lebih demokratis. UUD hasil amendemen telah mempertegas, bahwa eksistensi warga negara Indonesia diakui sebagai manusia merdeka yang mempunyai hak asasi, selain kewajiban asasi. Itu berarti UUD hasil amendemen memandang warga negara sebagai makhluk individual sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk individual, warga negara Indonesia dan siapapun yang bertempat tinggal di Indonesia memiliki hak asasi sebagaimana diatur di dalam Pasal 27 dan 28A s/d 28J, dan kewajibannya sudah diatur di dalam Pasal 27, 30 dan 31 UUD 1945.
Begitu banyak perubahan yang dibawa oleh amandemen dalam sistem ketatanegaraan kita saat ini, namun begitu bukan berarti bahwa amandemen tersebut tidak memiliki kelemahan dan kekurangan. Apalagi ditambah oleh minimnya kemauan politik para wakil rakyat kita untuk menerapkan sistem ketatanegaraan yang benar-benar murni sebagaimana layaknya negara-negara demokrasi di dunia. Hasil amendemen UUD 1945 yang telah dilakukan oleh MPR pada tahun 1999-2002 lalu, dapat dikatakan belum sepenuhnya menjadi problem solving bagi penyelesaian masalah ketatanegaraan yang diderita oleh bangsa Indonesia selama kurang lebih enam dasawarsa di bawah UUD 1945 sebelum amendemen.
Hasil amendemen UUD 1945 juga masih sangat jauh dari semangat reformasi Mei 1998, yaitu semangat menuju arah kehidupan ketatanegaraan yang demokratis dan semangat untuk menata kelembagaan negara serta hubungan antarlembaga negara yang sesuai dengan prinsip saling mengawasi dan mengimbagi (check and balances).
Secara umum, ada ada faktor utama yang menyebabkan hasil amendemen UUD 1945 masih memiliki sejumlah kelemahan. Ketiga faktor tersebut, yaitu pertama MPR sebagai satu-satunya institusi negara yang mendapat mandat dari rakyat dan memiliki kewenangan untuk melakukan amandemen UUD 1945 sesuai dengan Pasal 37 UUD 1945, pada waktu melakukan amendemen UUD 1945 tidak memiliki kejelasan paradigma perubahan dan kerangka kerja sehingga menyebabkan hasil amendemen UUD 1945 menjadi bersifat parsial dan terkesan tambal sulam. Kedua, minimnya keikutsertaan rakyat (public participation) dalam proses amendemen UUD 1945. Hal ini tampak dari kinerja MPR yang tidak maksimal dan sungguh-sungguh dalam memberikan kesempatan kepada rakyat untuk berpartisipasi dalam proses amendemen UUD 1945.
Kalaupun ada, proses sosialisasi dan penjaringan/penyerapan aspirasi rakyat, semuanya hanya sekadar formalitas guna memenuhi mekanisme dan prosedur yang ada. Padahal, hal ini menjadi bagian paling penting dalam suatu proses amendemen UUD 1945 terutama dalam membangun keyakinan rakyat kepada hukum dasarnya.

Menyempurnakan Sistem Ketatanegaraan
Sekedar mengingatkan, sebenarnya pada Juni tahun 2006 lalu, sebanyak 128 anggota DPD telah menyurati Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dan mengusulkan amendemen UUD 1945 itu. Tapi, waktu itu banyak pihak menilai usul tersebut masih terlalu dini. Kini keinginan DPD untuk mengamendemen UUD 1945 muncul kembali. Sebagai langkah konkrit, Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita telah menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk meminta dukungan. Sementara di DPR, para pemimpin Fraksi Kebangkitan Bangsa bahkan secara terang-terangan mendukung upaya penguatan peran DPD itu. 
Keberadaan DPD sebenarnya memiliki legitimasi kuat. Ia tercantum dalam konstitusi dan mereka dipilih secara langsung oleh rakyat. Namun, peran dan fungsi lembaga yang terbentuk pada 2004 itu dibatasi, baik oleh konstitusi maupun Undang-Undang No 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Kewenangan DPD pada intinya mencakup pengajuan RUU kepada DPR, ikut dalam pembahasan RUU, dan turut mengawasi pelaksanaan undang-undang.
Dari kewenangan DPD terlihat lembaga itu dibangun sekadar aksesori spirit reformasi. Ide pembentukan DPD sebenarnya terkait dengan upaya bagaimana mengubah sistem parlemen yang unikameral menjadi bikameral dan saling mengawasi. DPR mewakili suara rakyat dan DPD mempresentasikan kepentingan daerah. Sehingga masing-masing punya peran dan fungsi yang jelas dan tegas.
Berpijak pada berbagai realitas di atas, kini tak ada alternatif lain, jalan keluar yang mesti dipilih saat ini ialah segera melakukan perombakan dan penyempurnaan atas hasil amendemen UUD 1945. Langkah yang dapat diambil adalah dengan cara melakukan amendemen kelima UUD 1945. Hal ini disebabkan kebutuhan akan perbaikan dan penyempurnaan hasil amendemen UUD 1945 sudah sangat mendesak sekali untuk dilakukan saat ini. Selain itu, amendemen kelima UUD 1945 mutlak diperlukan agar bangunan sistem politik dan pemerintahan lebih efektif, stabil, dan juga produktif sehingga semakin mendekatkan bangsa pada cita-cita demokrasi secara substansial, keadilan, dan kesejahteraan rakyat.
Dominasi oleh lembaga apa pun sudah saatnya dihilangkan dalam menjalankan roda pemerintahan demi penyempurnaan sistem kenegaraan. Karena itu, DPD sepantasnya dilihat sebagai investasi politik yang seharusnya mendorong Indonesia kian matang dalam berdemokrasi. Kita juga harus menyadari bahwa kedudukan DPD di tengah era otonomi daerah sangatlah signifikan untuk mendorong semua wilayah tetap dalam bingkai negara kesatuan. Karena itu, sudah saatnya bangunan sistem bikameral ditata dan diperjelas.
Intinya, amandemen kelima UUD 1945 adalah merupakan langkah mutlak untuk menerapkan sistem bikameral secara utuh dan menyeluruh. Dan yang tidak kalah penting adalah proses perubahan harus dipersiapkan dengan matang demi menghindari kesalahan yang sama pada masa sebelumnya sehingga perubahan tersebut nantinya murni untuk tujuan penataan kembali sistem ketatanegaraan kita.

Penulis pertama adalah Alumnus Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan, Staff BBH dan Analis Politik Indonesian Information of Institution.
Terbit di Harian : Analisa Medan
Edisi                    :Senin, 5 Maret 2007
Rubrik                : Opini

Categories:

Leave a Reply

sponsor

    Blogger news

    Blogroll

    About